Memiliki rumah sendiri memang menjadi impian setiap orang. Saya dulu berharap bisa memiliki rumah dengan halaman lebar seperti di kampung, tapi ternyata itu tak mudah.
Semakin lama harga tanah juga semakin melambung tinggi karena tanah juga menjadi salah satu investasi yang harganya selalu bersaing. Apalagi jika di area tanah kosng tersebut telah berkembang menjadi sebuah perumahan.
Dulu tanah di daerah saya tinggal harganya Rp.135 ribu per meter, kini harga termurah Rp. 1, 5 juta. Diawal masih berbentuk areal persawahan, kini disekitaran rumah telah tersedia bermacam fasilitas publik, mulai dari klinik hingga bengkel.
Jika memilih kredit rumah KPR juga belum ada yang klop, dan soal harga juga menjadi pertimbangan paling krusial.
Meski tinggal di rumah dinas, kami pada akhirya tetap berusaha merencanakan bisa memiliki hunian sendiri, dan pilihan kami jatuh kepada "rumah tumbuh".
Diawali dengan membeli tanah (yang ketika itu masih bisa dicicil lagi) karena pemilik tanahnya penduduk kampung yang tidak sedang terdesak uang. Sisa uang kami manfaatkan untuk membangun pondasi rumah secara bertahap. Hingga seluruhnya selesai dan selanjutnya dilakukan penimbunan.
Dalam kondisi membangun yang semuanya dilakukan tidak terburu-buru, kami masih bisa mencari kenalan dan meminta "bantuan diskon" untuk menimbun seluruh pondasi secara bertahap.Â
Dengan tetap mengorder pada satu tempat, kita bisa kita dapatkan harga "sahabat".
Setiap uang masuk, bisa langsung dialihkan untuk meng-order tanah timbun meskipun hanya satu atau dua truk setiap bulannya. Semuanya berjalan selama beberapa waktu, hingga dana tersedia cukup, barulah dimulai pembangunan tahap lanjutan yang lebih besar.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!