Mohon tunggu...
Rini Wulandari
Rini Wulandari Mohon Tunggu... Guru - belajar, mengajar, menulis

Guru SMAN 5 Banda Aceh http://gurusiswadankita.blogspot.com/ penulis buku kolaborasi 100 tahun Cut Nyak Dhien, Bunga Rampai Bencana Tsunami, Dari Serambi Mekkah Ke Serambi Kopi (3), Guru Hebat Prestasi Siswa Meningkat

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Fenomena Takjil War Ramadan Tumbuhkan Bauran Budaya, Hadirkan Kembali Kuliner Langka

25 Maret 2024   00:43 Diperbarui: 27 Maret 2024   16:50 746
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi memasak lemaang bambu selama ramadan sumber gambar nonikhairani.com

Perang takjil atau takjil war adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan interaksi antara umat Muslim dan non-Muslim selama bulan Ramadhan, di mana umat non-Muslim ikut berpartisipasi dalam memberikan atau membeli takjil kepada umat Muslim yang sedang berpuasa.

Perang takjil bukan hanya sekadar kegiatan ekonomi, tetapi juga sebuah wujud nyata dari toleransi dan kerukunan antar umat beragama di Indonesia. Ini sebuah fenomena menarik yang menunjukkan bauran budaya antara warga keturunan dan masyarakat lokal dalam satu kegiatan dan tradisi yang sama yaitu saat ramadan.

Ramadan memang membuka ruang tak hanya untuk mencari rezeki, tapi juga menghadirkan beragam kuliner termasuk kuliner yang hampir bilang dan nyaris tak dikenal generasi masa kini.

Berkat kehadiran ramadan, dan animo masyarakat yang semakin "penasaran" dengan kuliner langka ie bu peudah yang hanya muncul saat ramadan, kini di salah satu gampong wisata Nusa, ie bue peudah juga mulai disajikan sebagai salah satu sajian bagi pegunjung. 

Bahkan dilengkap nara sumber yang menjelaskan secara detail ke-44 rempah dan tanaman, berikut dimana mereka biasanya memperoleh dan apa nama jenis tanaman itu menurut "penamaan yang dikenal orang masa kini".

Tujuannya tentu selain menjadi bagian dari paket wisata yang berbasis kearifan lokal, ini menjawab banyak kekuatiran orang akan kemungkinan  bisa hilangnya jenis kuliner khas yang langka tersebut, meskipun masih dilakukan secara parsial dan baru di Gampong Nusa di Aceh Besar.

Jadi riuhnya suasana selama ramadan di seluruh sudut kampung dan kota, serta hadirnya fenomena takjil war bukan sekedar sebuah pasar biasa, tapi juga menyajikan menu-menu yang bisa dibilang langka dan hanya muncul selama ramadan saja.

Tanpa kita sadari momentum takjil war ternyata juga menjadi "daya tarik" bagi pembuat makanan tradisional, mengingat berkah ramadan dari pasar jajanan ramadan ternyata juga menarik perhatian para "chef" kuliner langka seperti ie bue peudah itu. Sekaligus bisa menghidupkan kembali jenis kuliner yang langka.

Tentu saja ini harus menjadi perhatian kita semua, bahkan jika bisa ie bu peudah harus dimasukkan dalam agenda 100 even tahunan Aceh, bukan cuma kuah beulangong dan mie yang di-festival-kan, karena memang sudah sangat kita kenal.

Jangan sampai kuliner khas tradisi Aceh ini lenyap karena tak diwariskan. Nah, takjil war ramadan ternyata membawa berkah untuk melestarikan kuliner tradisional warisan turun-temurun menjadi makanan yang masih bisa dinikmati di era kekinian. 

Kuliner sehatnya dapat, warisannya juga lestari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun