Mohon tunggu...
Rini Wulandari
Rini Wulandari Mohon Tunggu... Guru - belajar, mengajar, menulis

Guru SMAN 5 Banda Aceh http://gurusiswadankita.blogspot.com/ penulis buku kolaborasi 100 tahun Cut Nyak Dhien, Bunga Rampai Bencana Tsunami, Dari Serambi Mekkah Ke Serambi Kopi (3), Guru Hebat Prestasi Siswa Meningkat

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Fenomena Takjil War Ramadan Tumbuhkan Bauran Budaya, Hadirkan Kembali Kuliner Langka

25 Maret 2024   00:43 Diperbarui: 27 Maret 2024   16:50 1161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para penjual takjil salam semarak ramadan sumber gambar detikfood-detikcom

Negara kita punya 17.001 pulau. Lebih dari itu tercatat ada lebih dari 5.300 ragam makanan asli Indonesia. Dan salah satunya yang unik ada di Aceh.

Saat ramadan tiba, Peunayong--pasar tertua di Aceh sejak era Kesultanan Iskandar Muda juga menjadi bukti bagaimana kuliner-kuliner "tua" resep indatu (nenek moyang) disajikan secara spesial.

Berbaur diantara ratusan jenis makanan di meja para penjaja makanan berbuka puasa atau takjil. Bahkan kuliner juga menjadi penyatu keragaman budaya. 

Selama ramadan, bukan hanya masyarakat Aceh yang sibuk berburu takjil, bahkan mayoritas warga keturunan yang tinggal di pusat niaga Peunayong dan seantero Aceh tak cuma jadi penjual jajanan takjil, tapi juga jadi pembelinya.

bubur ie bue peudah siap saji gambar kontenpedia.com
bubur ie bue peudah siap saji gambar kontenpedia.com

Warga keturunan telah lama berbaur, sehingga lidah mereka tidak asing lagi dengan kuliner Aceh yang penuh rempah, termasuk kuah beulangong, kuah pliek, termasuk ie bu peudah. Mereka mengetahui khasiatnya untuk kesehatan. Apalagi warga keturunan dikenal sangat peduli dengan ilmu pengobatan timur dan rempah yang menyehatkan.

Bahkan tetangga saya yang warga keturunan juga bisa masak makanan Aceh yang rasanya luar biasa enak.

Nah, jika warga peranakan menjual kue khas seperti mochi, atau dawet dengan sekoteng, di arena takjil war juga muncul beragam makanan khas yang hanya ada selama bulan ramadan dan juga menjadi "buruan" mereka.

Ilustrasi memasak lemaang bambu selama ramadan sumber gambar nonikhairani.com
Ilustrasi memasak lemaang bambu selama ramadan sumber gambar nonikhairani.com

Mulai dari lemang bambu, lengkap dengan tape ketan hitam dan selai srikaya (mirip selai samahani) yang asli tanpa pengawet. 

Selai Samahani adalah salah satu makan khas yang dapat dijumpai di Aceh. Selai Samahani terbuat dari adonan santan, telur, gula dan maizena. Keunikan Selai Samahani tidak dilakukan penambahan pengawet di dalamnya sehingga para produsen Selai Samahani tidak memproduksinya secara komersil. 

Setiap kali mengunjungi putera saya yang sedang mengaji di pesantren, saya selalu sempatkan membeli roti srikaya untuk bawaan, dan santapan ringan saat di perjalanan. Karena bahan bakunya yang alami, rasanya menjadi luar biasa.

Sedangkan Lemang adalah panganan yang terbuat dari beras ketan putih yang dimasak dengan cetakan bambu sebagai wadahnya dan dibakar dengan menggunakan kayu bakar dan sering menjadi takjil saat berbuka puasa. 

Proses pembuatan lemang ini pun tergolong mudah, dengan berbahan dasar beras ketan putih yang pulen, lalu ditambah rendaman santan kental dari kelapa tua dan diberi taburan sedikit garam, ketan siap dimasukkan ke dalam cetakan bambu yang telah dialasi daun pisang dan siap untuk dibakar. 

Harumnya santan yang mendidih dipermukaan bambu, bercampur dengan aroma dari daun pisang, menggugah selera bagi yang berpuasa.

Ilustrasi para penduduk sedangkan memasak ie bue peudah untuk berbuka puasa, sumber gambar infoaceh timur.com
Ilustrasi para penduduk sedangkan memasak ie bue peudah untuk berbuka puasa, sumber gambar infoaceh timur.com

Ie Bu Peudah Bubur Campuran 44 Rempah dan Tanaman

Namun yang paling unik adalah kehadiran Ie bu peudah (Nasi Pedas), masakan yang diolah dari 44 macam jenis dedaunan hutan. Dimasak dengan campuran lada, kunyit, lengkuas, dan bawang putih. Adonan rempah itu kemudian dicampur dengan beras dan kelapa yang telah diparut.

Jenis kuliner yang langka ini sebenarnya masakan khas dari Aceh Besar. Jenis kuliner bubur ini juga warisan turun temurun sejak era Kesultanan Aceh Darussalam dan telah lama menjadi santapan takjil khas Ramadan di Aceh. 

Dan hingga kini, olahan kuliner leluhur itu masih dilakukan oleh para warga seperti di wilayah Gampong Beuradeun Kecamatan Peukan Bada Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh. Bisa dibilang tak semua tempat bisa membuatnya dan sangat spesifik. Dan uniknya lagi para chef ie bu peudah hanya akan "beraksi" saat ramadan. Mengapa?.

Menurut penuturan Jamaliah (60 tahunan), warga Gampong Beuradeun, "resep saya dapat dari orang tua, yang dibagi turun menurun. Biasanya hanya kami buat waktu ramadan".

"Bahan-bahannya tidak sembarangan, kami cari di gunung dan bukit-bukit, disekitar kampung, tak semua orang sekarang tahu, walaupun namanya saya kasih tau".

Dan masih menurut penuturan jamaliah, ternyata ke 44 jenis tanaman yang di petiknya itu memiliki masa pertumbuhannya sendiri. Jadi tidak tumbuh sepanjang waktu.

"Karena saya cari daun untuk bahan-bahan Ie Bu Peudah tiap tahun ke gunung, saya sudah hafal di mana-mana saja tempatnya dan kapan waktu tubuhnya batang kayu itu," ucap Jamaliah.

Ke-44 jenis dedaunan, seperti dituturkannya diantaranya kunyit, lada, lengkuas, jahe, ketumbar, bawang putih, daun si mirah doeng, daun sinekut, daun tahe, daun capa, daun pepaya, daun sop, daun jeruk perut, daun muling, daun tongkat ali dan puluhan jenis-jenis dedaunan lainnya.

Nah, selain 44 dedaunan, ie bu peudah juga dilengkapi dengan bahan dasar seperti beras, jagung, kacang hijau, yang telah disangrai dan nantinya ditumbuk bersama semua daun kayu. 

Uniknya dalam proses penghalusannya, bahan-bahan tersebut akan ditumbuk menggunakan jeungki--alat tumbuk tradisional khas Aceh, semacam lesung di daerah lain.

Jeungki lebih mirip permainan jungkat jungkit dengan ujung langsung menghujam kedalam lumpang. Hasilnya lalu dijemur sampai kering untuk bahan utama bubur ie bue peudah.

Dan rahasia mengapa ie bu peudah hanya "dimasak"saat ramadan, ternyata kuliner kaya rempah-rempah yang satu ini bermanfaat sangat baik untuk daya tahan tubuh dan vitalitas tubuh, apalagi ketika puasa. Dan ternyata Ie Bu Peudah juga bermanfaat untuk melancarkan peredaran darah, serta meningkatkan imunitas tubuh.

suasan di pasar jajanan ramadan takjil war arena) sumber gambar serambi news tribunes.com
suasan di pasar jajanan ramadan takjil war arena) sumber gambar serambi news tribunes.com

Kearifan Kuliner Terselamatkan Fenomena War Takjil Ramadan

Perang takjil atau takjil war adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan interaksi antara umat Muslim dan non-Muslim selama bulan Ramadhan, di mana umat non-Muslim ikut berpartisipasi dalam memberikan atau membeli takjil kepada umat Muslim yang sedang berpuasa.

Perang takjil bukan hanya sekadar kegiatan ekonomi, tetapi juga sebuah wujud nyata dari toleransi dan kerukunan antar umat beragama di Indonesia. Ini sebuah fenomena menarik yang menunjukkan bauran budaya antara warga keturunan dan masyarakat lokal dalam satu kegiatan dan tradisi yang sama yaitu saat ramadan.

Ramadan memang membuka ruang tak hanya untuk mencari rezeki, tapi juga menghadirkan beragam kuliner termasuk kuliner yang hampir bilang dan nyaris tak dikenal generasi masa kini.

Berkat kehadiran ramadan, dan animo masyarakat yang semakin "penasaran" dengan kuliner langka ie bu peudah yang hanya muncul saat ramadan, kini di salah satu gampong wisata Nusa, ie bue peudah juga mulai disajikan sebagai salah satu sajian bagi pegunjung. 

Bahkan dilengkap nara sumber yang menjelaskan secara detail ke-44 rempah dan tanaman, berikut dimana mereka biasanya memperoleh dan apa nama jenis tanaman itu menurut "penamaan yang dikenal orang masa kini".

Tujuannya tentu selain menjadi bagian dari paket wisata yang berbasis kearifan lokal, ini menjawab banyak kekuatiran orang akan kemungkinan  bisa hilangnya jenis kuliner khas yang langka tersebut, meskipun masih dilakukan secara parsial dan baru di Gampong Nusa di Aceh Besar.

Jadi riuhnya suasana selama ramadan di seluruh sudut kampung dan kota, serta hadirnya fenomena takjil war bukan sekedar sebuah pasar biasa, tapi juga menyajikan menu-menu yang bisa dibilang langka dan hanya muncul selama ramadan saja.

Tanpa kita sadari momentum takjil war ternyata juga menjadi "daya tarik" bagi pembuat makanan tradisional, mengingat berkah ramadan dari pasar jajanan ramadan ternyata juga menarik perhatian para "chef" kuliner langka seperti ie bue peudah itu. Sekaligus bisa menghidupkan kembali jenis kuliner yang langka.

Tentu saja ini harus menjadi perhatian kita semua, bahkan jika bisa ie bu peudah harus dimasukkan dalam agenda 100 even tahunan Aceh, bukan cuma kuah beulangong dan mie yang di-festival-kan, karena memang sudah sangat kita kenal.

Jangan sampai kuliner khas tradisi Aceh ini lenyap karena tak diwariskan. Nah, takjil war ramadan ternyata membawa berkah untuk melestarikan kuliner tradisional warisan turun-temurun menjadi makanan yang masih bisa dinikmati di era kekinian. 

Kuliner sehatnya dapat, warisannya juga lestari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun