Kita semua tahu bagaimana Jokowi didaulat kelas bawah hingga menjadi kesayangan media (media darling) ketika kita mengalami kejenuhan politik yang selalu dipenuhi elit yang kaku. Ketika itu, nyaris Pak Presiden tak perlu susah payah berkampanye karena nyaris setiap orang "bersedia berkampanye" untuk Pak Jokowi.
Dengan kekuatan-kekuatan yang perlahan dikumpulkannya, akhirnya Jokowi "berubah" dari pendobrak menjadi politikus "sejati", yang tdak hanya menjadi "wayang mainan", tetapi menjadi "dalang" yang intens.
Kini kontelasi telah jauh berubah, ia telah melesat jauh menjadi "meteor" yang menerjang apa saja, apalagi dengan legitimasi dan kekuatannya sebagai orang nomor satu di negeri ini.
Terlepas dari persoalan-persoalan yang sedang membelitnya, fenomena Jokowi adalah sebuah potret demokrasi kita saat ini. Bagaimana dengan akar yang belum kokoh, masih terus dihantam angin yang keras.
Begitupun Jokowi tak mau memilih terus menjadi rumput, ia memilih menjadi pohon tinggi dan itu artinya bersiap dengan segala risiko hantaman angin besar.
Sayangnya, ia telah merubah bentuk pohon itu menjadi sebuah pohon artifisial, besar, terlihat kokoh namun semuanya adalah sebuah pohon tiruan yang tidak lagi asli.Â
Belajar dari fenomena itu, tak sedikit para politikus elit di negeri ini yang juga berlaku sama. Hadir dari mahasiswa pendemo yang kritis, tapi pada akhirnya menjadi bagian dari kekuatan yang memayunginya sehingga kehilangan suara.
Politik memang ibarat sebuah banjir bandang, berarus deras di dalam meski terlihat tenang di permukaan. Maka yang tak siap dengan "kekuatan" diri dan mental ia akan hanyut terbawa bandang yang besar itu.
Bagaimana dengan Komeng?, tentu saja fenomena ini akan sangat menarik, mengapa?.
Dengan fenomenalnya kehadiran Komeng di kancah politik, ia tak hanya terlihat sebagai sebuah "angle" baru dalam sorotan mata kita, namun sepak terjangnya akan menjadi bagian dari amatan dan penilaian.
Akankah Komeng yang katanya selalu "benar" saat memilih, kali ini berada dijalur yang tepat sesuai dengan nuraninya. Akankah ia masih bisa bersuara "lantang" dan bebas layaknya ia berada di panggung komedi atau ketika dicecar dengan pertanyaan serius di rung diskusi dialog bersama Rossi.
Semua orang menunggu-nunggu layaknya menunggu penampilan Komeng di panggung hiburan. Seberapa keras dan cepat ia akan menyentil lawan-lawan di ruang diskusi dewan, apakah ia justru kelak menjadi salah satu pendengar yang baik, dengan alasan adaptasi dan mungkin juga terkejut dengan sistem politik dan demokrasi negara kita di ruang dewan.
Rasanya tak sabar melihat Komeng ada di ruang senayan, berbaur dengan para elit lain yang pendatang, instans maupun yang sudah menjadi incumbent karena sudah malang melintang tak pernah "bisa" atau "tak mau" keluar lagi dari gedung dewan karena empuknya kursi.