Mohon tunggu...
Rini Wulandari
Rini Wulandari Mohon Tunggu... Guru - belajar, mengajar, menulis

Guru SMAN 5 Banda Aceh http://gurusiswadankita.blogspot.com/ penulis buku kolaborasi 100 tahun Cut Nyak Dhien, Bunga Rampai Bencana Tsunami, Dari Serambi Mekkah Ke Serambi Kopi (3), Guru Hebat Prestasi Siswa Meningkat

Selanjutnya

Tutup

Sosok Pilihan

Komeng Uhuy Maju, yang Lain Makin Ketinggalan

2 Maret 2024   09:37 Diperbarui: 3 Maret 2024   08:22 422
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Komeng bersiap ke senayan memperjuangkan nasib pelawak sumber gambar diolah dri vidio com

Komeng bersiap menuju senayan sumber gambar diolah dari vidio.com
Komeng bersiap menuju senayan sumber gambar diolah dari vidio.com

Jika dulu dalam lawakannya Komeng bilang baru dari senayan karena "numpang" lewat, kali ini gedung besar itu akan menjadi salah satu kantor barunya.  Dan jika dulu cuma bagian dari gimmick iklan, kali ini Komeng bikin lawan makin jauh ketinggalan.

Begitu masuk ke panggung, saat diundang sebagai bintang tamu di program acara Rosi yang disiarkan Kompas TV, Komeng tak ingin duduk sejajar dengan Rosiana Silalahi yang menjadi host. Ia justru memilih duduk di bawah. Dengan menusuk, Komeng menyebut ia sudah punya kursi di senayan jadi tak perlu duduk di kursi yang disediakan di acara Rosi tersebut.

Komeng saat hadir di acara Rosiana Silalhi KOmpas TV sumber gambar suara.com
Komeng saat hadir di acara Rosiana Silalhi KOmpas TV sumber gambar suara.com

Tapi seberapa kuat ia bisa "semenusuk" itu jika ada di gedung dewan dan berdasi?.

Jika menyimak diskusi Komeng dengan Rosiana Silalahi di Kompas TV, terlihat jika Komeng memang taktis dan luar biasa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang "spesial" dari Rosi karena untuk pertama kalinya Rosi memang tak menyiapkan daftar pertanyaan. "Saya siapkan daftar pertanyaan juga bakal rugi, karena akan dijawab sesuka hati", kurang lebih itu alasannya.

Pertanyaan yang unik yang pertama kali muncul dari Rosi, disebut unik mengingat jika ditanyakan pada caleg "biasa" bernuansa tendensius dan disangka merendahkan alias mengejek adalah, "Kok bisa dapat kursi sebanyak itu"--penghitungan suara Komeng kini mencapai angka 1,5 jutaan suara.

Ketika ditanya mengapa memajang foto yang tidak biasa, menurut Komeng katanya ia sudah mengajukan pasphoto saat pendaftaran, tapi saat pembuatan kertas suara ia diminta KPU mengirim lagi foto, maka ia melakukan selfi beberapa foto dan foto yang akhirnya mampir di kertas suara adalah salah satu foto paling atraktif darinya.

Mungkin itu juga yang menjadi magnet, terutama dalam situasi ketika kekakuan politik menghadirkan muka-muka serius dan juga menyimpan kejenuhan formalitas .

Tapi seperti di bilang banyak orang, Komeng selalu serius dengan "pilihan". Maka sejatinya kita berharap semuanya benar.

Komeng komedian yang kini beranjak menuju gedung dewan sumber gambar dream.co. id
Komeng komedian yang kini beranjak menuju gedung dewan sumber gambar dream.co. id

Fenomena Dejavu

Fenomena seperti ini sebenarnya pernah terjadi, ketika Presiden Joko Widodo, atau Jokowi di awal pemilihan Presiden di tahun 2019 hadir melawan kekuatan dan kekuasaan politik yang mapan, meskipun ia hadir diusung partai lawas PDIP yang notabene memang bagian dari tri partai besar sejak jaman dulu, PDIP, Golkar dan PPP.

Kita semua tahu bagaimana Jokowi didaulat kelas bawah hingga menjadi kesayangan media (media darling) ketika kita mengalami kejenuhan politik yang selalu dipenuhi elit yang kaku. Ketika itu, nyaris Pak Presiden tak perlu susah payah berkampanye karena nyaris setiap orang "bersedia berkampanye" untuk Pak Jokowi.

Dengan kekuatan-kekuatan yang perlahan dikumpulkannya, akhirnya Jokowi "berubah" dari pendobrak menjadi politikus "sejati", yang tdak hanya menjadi "wayang mainan", tetapi menjadi "dalang" yang intens.

Kini kontelasi telah jauh berubah, ia telah melesat jauh menjadi "meteor" yang menerjang apa saja, apalagi dengan legitimasi dan kekuatannya sebagai orang nomor satu di negeri ini.

Terlepas dari persoalan-persoalan yang sedang membelitnya, fenomena Jokowi adalah sebuah potret demokrasi kita saat ini. Bagaimana dengan akar yang belum kokoh, masih terus dihantam angin yang keras.

Begitupun Jokowi tak mau memilih terus menjadi rumput, ia memilih menjadi pohon tinggi dan itu artinya bersiap dengan segala risiko hantaman angin besar.

Sayangnya, ia telah merubah bentuk pohon itu menjadi sebuah pohon artifisial, besar, terlihat kokoh namun semuanya adalah sebuah pohon tiruan yang tidak lagi asli. 

Belajar dari fenomena itu, tak sedikit para politikus elit di negeri ini yang juga berlaku sama. Hadir dari mahasiswa pendemo yang kritis, tapi pada akhirnya menjadi bagian dari kekuatan yang memayunginya sehingga kehilangan suara.

Politik memang ibarat sebuah banjir bandang, berarus deras di dalam meski terlihat tenang di permukaan. Maka yang tak siap dengan "kekuatan" diri dan mental ia akan hanyut terbawa bandang yang besar itu.

Bagaimana dengan Komeng?, tentu saja fenomena ini akan sangat menarik, mengapa?.

Dengan fenomenalnya kehadiran Komeng di kancah politik, ia tak hanya terlihat sebagai sebuah "angle" baru dalam sorotan mata kita, namun sepak terjangnya akan menjadi bagian dari amatan dan penilaian.

Akankah Komeng yang katanya selalu "benar" saat memilih, kali ini berada dijalur yang tepat sesuai dengan nuraninya. Akankah ia masih bisa bersuara "lantang" dan bebas layaknya ia berada di panggung komedi atau ketika dicecar dengan pertanyaan serius di rung diskusi dialog bersama Rossi.

Semua orang menunggu-nunggu layaknya menunggu penampilan Komeng di panggung hiburan. Seberapa keras dan cepat ia akan menyentil lawan-lawan di ruang diskusi dewan, apakah ia justru kelak menjadi salah satu pendengar yang baik, dengan alasan adaptasi dan mungkin juga terkejut dengan sistem politik dan demokrasi negara kita di ruang dewan.

Rasanya tak sabar melihat Komeng ada di ruang senayan, berbaur dengan para elit lain yang pendatang, instans maupun yang sudah menjadi incumbent karena sudah malang melintang tak pernah "bisa" atau "tak mau" keluar lagi dari gedung dewan karena empuknya kursi.

Komeng akan menjadi sebuah fenomena yang unik sekaligus kritis yang bisa terlihat telanjang di mata kita.

Jadi, seberapa kuat Komeng bisa bertahan dalam kerasnya belantara politik kita yang berprinsip" homo homoni lupus?. Waktu akan membuktikan mengingat kebiasaan Komeng yang kritis dan "asal jeplak tapi kritis" saat menjadi komedian akan mendapat "ruang serius" yang bisa membuatnya tak lagi bisa "bicara sekedarnya".

Dan jika nantinya Hari Komedi bisa ditetapkan pemerintah, tentu saja kehadiran dan fenomena seperti Komeng yang paling tidak mewakili komunitas para komedian akan menjadi bagian dari catatan sejarah.

Bahwa seorang komedian juga bisa berkiprah dan bisa punya andil bersuara dalam politik. 

Tentu kita tak bisa menganggap remeh profesi tersebut, sekalipun profesinya mengharuskannya melucu, tapi jika serius bisa saja ia menertawakan orang lain atau menertawakan hidupnya sendiri sebagai caranya berpikir kritis.

Di luar konteks untuk lebih meningkatkan dan memajukan kesenian dan kebudayaan, terutama dalam bidang komedi beserta para pelakunya, keberadaan Hari Komedi bisa menjadi ruang kontemplasi, seberapa lucu kita berdemokrasi, seberapa lucu para komedian bisa membagi kebahagiaan untuk melunakkan hidup yang keras dan penuh tantangan.

Jika nantinya tertawa itu dilarang, tentu akan menjadi tugas para komedian mengkritisinya saat hari komedi di peringati, dan Komeng yang ada di ruang dewan ebrsama rekan artis lainnya akan berdiri di barisan depan menyuarakannya. 

Tentu kita masih ingat dengan Presiden Volodymyr Zelensky juga awalnya menghibur pemirsa lewat candaannya di layar kaya, kini menjadi pemimpin negara Ukraina, pria kelahiran 25 Januari 1978 ini mengawali karirnya di dunia hiburan sebagai komedian.

Aktor dan komedian ternama itu akhirnya terpilih sebagai Presiden Ukraina pada 2019. Jadi tak ada yang tak mungkin jika begitu, jadi tak usah takut bersuara lantang dan keras di perlemen nantinya.

Jika memang sudah suratan cuma bertahan sekali, paling tidak sudah menjadi catatan sejarah bahwa "pernah" menjadi corong suara kritis rakyat di parlemen. Jadi tetap kritislah meski di gedung dewan ya Mas Komeng.

Selamat bertugas Mas Komeng, semoga kali ini "benar" pilihannya untuk berpolitik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun