Ketiga; Joget dan Pantomin Capres-Cawapres
Memang akan terkesan bias dan memihak karena pembahasan terus-terusan tertuju pada paslon tertentu. Sayangnya kita tak bisa lepas dari fakta tersebut karena "ceritanya " berasal dari sana. Sudut pandang ini juga muncul karena dalam kebiasaan adat ketimuran perilaku yang muncul dalam debat dipandang sesuatu yang tidak biasa. Terutama soal "etika".
Barangkali ini juga mengapa netizen dan dunia medsos menganggap salah satu paslon memang bisa menjadi sumber konten. Medsos menjadi ruang "pertarungan dan persaingan" konten. Makin aneh makin membuat konten dilirik dan menarik.
Dan terlepas dari sengaja atau tidak sengaja, kelakuan para capres dan cawapres di panggung debat justru menjadi bahan konten baru.Â
Saya menangkap esensi ini sebagai bahan untuk bisa menjangkau kelas bawah yang tak mau ambil pusing dengan urusan politik yang serius, dibawa santai saja, barangkali itu intinya. Dan konten medsos berhasil mencapai tujuan itu.
Faktanya, ketika menunjukkan sisi kelemahan ketika berdebat dan beretorika, namun disisi lain justru  respon kekurangannya dengan emosi atau berkelakar, menjadi daya tarik baru di medsos.
Saya terkejut ketika capres nomor urut 2, Prabowo berjoget santai ketika menjawab pertanyaan serius soal kasus naiknya cawapresnya melalui jalur cepat MK. Saya menangkap substansi jawaban bahwa kondisi politik kita memang sangat buruk, sehingga salah kaprah melangkahi konstitusi dianggap sebagai sesuatu yang biasa, "tau sama tau".
Padahal politik nakal tidak prosedural itulah yang semestinya harus kita perbaiki, bukan dilanggengkan, sehingga saya malah makin kuatir, ketika penonton dan netizen tidak menangkap esensi demokrasi yang rusak, tapi malah tertarik dengan "jogetnya".
Dan persis seperti kenehan salah tangkap substansi (atau disengaja), jogetnya jadi konten, tapi substansi MK tidak prosedural malah diabaikan.
Begitu juga ulangan kejadian dari debat cawapres tahap kedua, ketika lagi-lagi soal ala cerdas cermat dan kali ini ditambah versi bahasa indonesianya muncul--greenflation--"inflasi hijau sesederhana itulah artinya", ujar  sang cawapres -Gibran santai. Tapi kita tak mendapat jawaban yang akurat gara-gara soal jebakannya.
Untungnya moderator debat sudah dapat masukan soal mekanisme baru, agar soal singkatan dilarang dan harus dijelaskan agar mendapat jawaban yang kongkrit,dan bukan sekedar terjemahan.
Saya melihat situasi ini berasal dari "persaingan" sebelum debat dimulai ketika "anak sekcil itu melawan Mahfud"Â (judul sebuah artikel di kompasiana) yang mungkin bisa mewakili munculnya sebuah upaya "perlawanan" yang diseting masing-masing paslon, ketika Gibran kelak harus berhadapan dengan Prof Mahfud dan Cak Imin yang berpengalaman banyak dalam debat cawapres.
Pada akhirnya jurus gimmick dan pertanyaan ala cerdas cermat sukses menghasilkan konten yang menarik di medsos, tapi tak menghasilkan substansi jawaban yang menarik dari sisi kontektual debat capres-capres yang bermutu.
Saya melihat jawaban dari lawan usai pertanyaan singkatan lebih bernuansa "kesal" dengan tak memberikan jawaban yang diharapkan karena telah terpancing emosi. Tentu kita mafhum jika seorang senior seperti Prof Mahfud juga tak mau dipancing dengan gimmick recehan (istilah ini langsung dari prof Mahfud sendiri di acara debat itu).