Mohon tunggu...
Rini Wulandari
Rini Wulandari Mohon Tunggu... Guru - belajar, mengajar, menulis

Guru SMAN 5 Banda Aceh http://gurusiswadankita.blogspot.com/ penulis buku kolaborasi 100 tahun Cut Nyak Dhien, Bunga Rampai Bencana Tsunami, Dari Serambi Mekkah Ke Serambi Kopi (3), Guru Hebat Prestasi Siswa Meningkat

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Kebun Ikhlas "Ekolit" Cara Murah Berbagi dan Mengedukasi dari Kebun Rumahan

6 Februari 2024   23:47 Diperbarui: 6 Februari 2024   23:57 388
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Petugas Kebersihan kompleks "donatur kompos" baik hati sumber foto diolah dokpri Rini Wulandari

"Selama tanaman itu menghasilkan, selama itu pula buah kebaikan akan mengalir untuk kita", begitu pesan ayah saya, sewaktu kami menanam  pohon mangga di halaman rumah. Ketika ayah meninggal saya baru menyadari bahwa kami kini bisa menikmati buah-buah mangga ranum dan besar sepanjang tahun.

Setahun yang lalu, seorang teman dari LSM lokal bercerita, betapa sulitnya mengajak masyarakat di kampung tempat program LSM itu dijalankan untuk tidak menebang pohon-pohon di gunung, padahal hutan itu sebagai "wadah" penahan air curahan hujan.

Setiap hari ibu-ibu di kampung harus mengangkut air dari sumber mata air yang jauh di kaki gunung, dengan menjunjung ember dan jerigen. Sekian lama kemudian, barulah mereka menyepakati usulan mengganti tanaman yang ditebang dengan tanaman buah.

Alasannya sederhana, masyarakat di kampung tidak mungkin menebang tanaman buah di gunung, karena mereka bisa mengambil manfaatnya dengan memanen buahnya yang berlimpah. 

Singkat cerita, program tersebut berhasil. Memang butuh waktu merubah mindsetnya, ada saja alasannya, tidak sempat, capek bekerja di ladang, gangguan binatang. 

Cerita itulah yang kemudian mengilhami saya untuk memulai sebuah kegiatan tanam menanam di halaman belakang rumah, sambil berbagi dan menyalurkan hobi berkebun.

Merintis Kebun Ikhlas "Ekolit"

Sebenarnya bagian belakang bangunan rumah saya yang saya jadikan kebun itu tak seberapa luas . Tapi lumayan manfaatnya, setidaknya ada 16 jenis tanaman yang bisa saya manfaatkan hasilnya untuk saat ini. Pohon kelapa, mangga, jeruk manis, cabe setan, cabe rawit, tomat, ubi kayu, kecombrang, tumuru, belimbing wuluh, serai, pepaya, sirih, takokak, pandan, dan pisang.

Ketika ekonomi makin sulit setelah pandemi tanaman-tanaman itu terasa sangat membantu sekali. Paling tidak beberapa tanaman kita tak harus membelinya di pasar.

Sekali waktu jumlah tanaman pandan, serai, kelapa dan pepaya jumlahnya bertambah banyak. Saat membersihkan, kami putuskan untuk membuangnya. Tapi saat tanaman dikumpulkan timbul perasaan sayang jika berakhir di tempat sampah.

Kebetulan saya sedang menyiapkan bibit cabe setan, ada sekitar 15 buah polybag. Tapi entah mengapa  bibit tanaman mati dan polybagnya menganggur. Daripada kosong, saya isi dengan tanaman yang rencananya akan saya buang. 

Niat awal siapa tahu ada tetangga yang mau. Tapi kemudian saya letakkan di pinggir jalan dekat rumah, dengan memasang kertas , "Bibit gratis, silahkan diambil".

Waktu itu lumayan juga tanaman "gratisannya", ada 30 serai, 27 pandan,  15 pepaya dan 20 kelapa hijau siap ditanam.

Diluar dugaan hanya dalam hitungan dua jam, seluruh tanaman itu "ludes" diambil para tetangga. Entah mengapa saya begitu gembira dan merasa seperti "ketagihan".

lantas kebiasaan sambilan itu saya lakukan kala berkebun di Sabtu-Minggu, menjadi "healing". Saya tak harus ngotot menyebarkan di media sosial, karena dari mulut ke mulut saja informasinya menyebar, toh ini juga kerja iseng.

Putri saya Aisya mengusulkan sambil bercanda, nama kebun saya itu "Kebun Ikhlas-alias kebuni--Ekolit", lantaran tanaman dalam kebun itu dibagikan gratis, dan cocok saat ekonomi sulit sekarang ini.

Apalagi putri saya tahu, jika hampir seluruh bagian dari apa yang kami kerjakan itu hanya memanfaatkan apa yang ada di lingkungan, dan hanya membutuhkan modal, waktu tenaga, dan tentu saja "keikhlasan" berbagi, selainnya semuanya "gratis!".

Petugas Kebersihan kompleks
Petugas Kebersihan kompleks "donatur kompos" baik hati sumber foto diolah dokpri Rini Wulandari

Memangnya bagaimana sih cerita di balik kebun ikhlas itu?

Kebetulan saya membimbing anak-anak dalam sebuah lomba karya tulis ilmiah, yang mengharuskan mereka membuat penelitian kecil-kecilan. Kami mendapat izin akses ke "gunung sampah" di Tempat Pembuangan Akhir (TPA), disana sampah diolah dengan cara komposting.

Nah apa itu komposting?. Cara mengolah sampah organik menjadi pupuk tanaman dengan cara mencampurkan sampah-sampah dapur seperti sayur-sayuran, buah-buahan dan sampah yang bisa membusuk lainnya ditambah serbuk kayu atau daun-daun kering dengan perbandingan 1:1 ke dalam wadah pembuatan kompos yang disebut komposter. 

Setiap hari dilakukan pengadukan hingga diperoleh hasil setelah 8 minggu. Hasil akan terlihat seperti tanah yang berwarna hitam dan tidak berbau. 

Cara itu dipilih karena bisa mengurangi sampah rumah tangga sebanyak 60%, memperbaiki kualitas dan kimia tanah agar meningkat kesuburannya, menghemat uang untuk pupuk, lingkungan bersih, dan tentu saja menjaga alam lestari.

Ternyata cara itu sangat mudah diadopsi di rumah. Dengan beberapa tambahan bahan berupa kotoran dari ternak. Tapi jika tidak ada cukup dengan cara komposting sudah cukup ditambah sisa daun dari kebun, juga bisa.

Kebetulan saya tinggal di daerah pinggiran, dimana sebagian masyarakat masih memiliki ternak, sehingga bahakn baku kompos berlimpah. Bahkan petugas sampah keliling di komplek bersedia membantu.

Bahan lain seperti serbuk kayu atau merang juga berlimpah, saya dapatkan dengan bantuan siswa yang rumahnya berdekatan dengan pabrik padi. 

Tanaman siap beredar dari kebun ikhlas sumber foto diolah dokpri Rini Wulandari
Tanaman siap beredar dari kebun ikhlas sumber foto diolah dokpri Rini Wulandari

Apakah sulit melakukan komposting?

Kompos dari limbah dapur diolah dengan tanah selama seminggu, kemudian dicampur dengan bahan-bahan lainnya (jika memang tersedia), seperti kotoran ternak, merang. Itulah media tanam yang saya gunakan.

Saya memanfaatkan gelas-gelas bekas jus yang saya dapatkan dari otak sampah pilah disekolah sebagai pengganti polybag.

Jadi hampir semua bahan untuk "kebun ikhlas" saya bisa diperoleh tanpa harus mengelurkan biaya. 

Untuk bibitnya, saya biasanya dapatkan dari biji buah yang kita beli seperti pepaya. Saya bahkan mengajak siswa yang memiliki kedai di pasar untuk "menyumbang" tomat-tomat yang tidak layak dijual untuk dijadikan bibit.  

Cara menanam bibitnyapun saya gunakan cara paling simpel. Menaburkan bibit tomat di dalam pot tanaman lain yang cukup besar, sehingga saat menyiram tanaman, bibit "titipan" juga ikut tersiram. Setelah bibit siap tanam barulah dipindahkan ke dalam gelas-gelas plastik bekas jus.

Untuk jenis tanaman tertentu seperti tanaman tumuru atau daun kari, saya memanfaatkan bibit liar yang berasal dari kotoran kalelawar yang biasa memakan biji tumuru dan tumbuh menjadi bibit liar yang banyak sekali jumlahnya.

Untuk tanaman buah kelapa, cukup diletakkan di tanah  saja asal tak terkena sinar matahari berlebihan, bisa langsung bertunas (nyaris tanpa perawatan berarti). Bibit ini saya peroleh karena buahnya memang berkebetulan sangat banyak.

Prosesnya sangat sederhana dan semua orang bisa melakukannya dari rumah

Saat pagi minggu, saya manfaatkan bersama anak-anak untuk berkebun, memasukkan media tanam kedalam gelas bekas jus, mengisinya dengan berbagai bibit yang ada.

Meletakkanya di tempat teduh, dan rutin menyiraminya setiap pagi dan sore. Hanya dalam hitungan hari, tanaman-tanaman itu sudah siap dibagikan.

Ternyata banyak hal yang menjadi multiple effect dari gagasan mengolah kebun ikhlas tersebut

Oiya, mengapa disebut "kebun ikhlas?", pertama karena memang dibagikan gratis dan ternyata sebagian teman, tetangga, atau kenalan baru yang mendapat informasi dari mulut ke mulut itu, ada yang "menyumbang" seikhlasnya jika mereka mengambilnya dalam jumlah banyak (lebih dari 1-5 bibit). 

Uang itu saya gunakan sebagiannya untuk membeli bibit tanaman yang tidak bisa saya peroleh dengan mudah, seperti tanaman pare, gambas, terung dan lainnya.

Maklum inikan cuma sekedar kebun yang idenya dari rumah dan cuma bagian dari hobi awalnya, baruylah kemudian menjadi konsep atau gagasan berbagi. Menurut saya, kondisi ekonomi sulit memang butuh solusi sederhana yang bisa membantu rumah tangga yang membutuhkan, minimal di sekitar kita.

Namun hal lainnya yang patut menjadi perhatian kita adalah, bahwa konsep "kebun ikhlas"- alias kebuni-Ekolit (ekonomi sulit), ternyata juga sangat positif untuk membangun kesadaran lingkungan. Paling tidak dimulai dari rumah kita.

Sumbangan kita melalui RTH Privat

Dan ternyata ini secara tidak langsung merupakan bagian dari kontribusi kita menyumbang terpenuhinya Ruang Terbuka Hijau (RTH). Dalam Permen ATRKBPN 14 tahun 2022 tentang RTH dijelaskan bahwa; 

RTH yaitu area yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam, dengan mempertimbangkan aspek fungsi ekologis, resapan air, ekonomi, sosial budaya, dan estetika.

Selain ada RTH Publik yang dikelola Pemerintah bekerja sama dengan masyarakat untuk kepentingan umum, bentuknya seperti taman bermain anak-anak, tanah areal pemakaman atau area bantaran sungai dan lainnya.

Juga ada RTH Privat, kepunyaan kantor contohnya seperti kantor  PT. Elnusa Petrofin, atau bangunan lain milik orang perseorangan seperti rumah-rumah kita yang memiliki halaman dengan berbagai macam tanaman. Itulah bentuk kontribusi kita menyumbang RTH 30 persen.

Membantu mengurangi limbah plastik yang makin menggurita

Pemanfaatan gelas bekas jus atau air minum dalam kemasan, bekas bungkus deterjen sebagai pengganti polybag juga menjadi salah satu kontribusi kita membantu mengurangi sampah plastik yang saat ini menjadi salah satu masalah pelik kita. 

Bahkan saat saya meminta bantuan para siswa, saya juga mengajak mereka untuk mempraktekkannya di Program Wiyata Sekolah (Kebun Sekolah), sambutannya sangat positif.

Memanfaatkan limbah kompos domestik rumah tangga dan limbah ternak bisa bernilai ekonomi

Sebenarnya seiring waktu, banyak teman yang telah merasakan manfaat dari "Kebun Ikhlas", ada yang mulai meminta bantuan juga menyediakan media tanamnya. Jika ditindaklanjuti dan diseriusi, ini bisa menjadi lahan bisnis yang menarik.

Saya pernah menawarkan gagasan ini, dan para siswa banyak yang berminat. Apalagi mereka yang tinggal di kampung dan material bahan baku untuk media tanam tersebut berlimpah.

Tak hanya yang cuma berurusan dengan uang, gagasan -kebuni atau kebun ikhlas ekolit, ini memang sedang saya tularkan kepada para siswa. 

Saya berharap ini tidak hanya akan menjadi cara sederhana kita mengatasi masalah lingkungan, tapi juga membangun kesadaran masyarakat (saudara, teman, tetangga, masyarakat luas), dan para remaja kita melalui sekolah, agar pada akhirnya bisa mereka lakukan  juga di rumah masing-masing.

Tak terbayangkan rasanya jika para remaja yang sudah terbiasa melakukan hal-hal baik itu, bisa ikut berkontribusi pada lebih banyak orang untuk mulai memanfaatkan halaman rumahnya dengan berbagai jenis tanaman. Semoga gagasan sederhana dari rumahan ini bisa terus kita tularkan kepada semakin banyak orang. Siapa tahu bisa jadi gerakan bersama. Ini adalah kontribusi sederhan Menjaga Lingkungan dari Limbah Domestik. Salam lestari!.

Referensi: 1,2,3,4,5.6

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun