artikelku ke #99
Pembangunan kota adalah salah satu keberhasilan terbesar manusia. Bentuk kotanya selalu menjadi cermin dari peradabannya. Bentuk ini ditentukan dari keanekaragaman keputusan-keputusan yang dibuat oleh masyarakat untuk menghasilkan suatu kekuatan nyata dan bentuk yang melahirkan kota terhormat.---Edmund N. Bacon
Ketika kota mandiri kian dibutuhkan, kehadirannya juga harus memenuhi prinsip, Environmental, Social, Governance (ESG) agar gagasan membangun Kota mandiri tidak hanya layak huni tapi berkelanjutan (sustainable).Â
Gagasannya harus sejalan dengan komitmen isu keberlanjutan (sustainability issues) yang memuat --lingkungan, sosial, ekonomi kota- dengan fokus pada efisiensi, intensifikasi, konservasi, revitalisasi dalam menyelaraskan pembangunan kembali kota (sustainable urban redevolopment movement).
Sebuah Kota Mandiri yang layak huni (Livable city) menyediakan akses yang setara dengan kebutuhan hunian yang ideal, mobilitas, kualitas hidup, hingga layanan pendidikan serta lingkungan kerja dengan menyematkan 4 pilar sebagai konsep pembangunannya: Live, Learn, Work, and Play.
Kota Mandiri adalah salah satu konsep pembangunan kota yang bertujuan untuk menciptakan kota yang mandiri dan terintegrasi dengan baik.Â
Konsep Kota Mandiri muncul pertama kali pada tahun 1984 dan dikembangkan oleh pemerintah Indonesia. Pada saat itu, konsep ini diharapkan dapat membantu mengatasi masalah urbanisasi yang semakin meningkat di Indonesia, dan memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap sebuah hunian yang nyaman dan ideal.
Harapan orang untuk mendapatkan hunian yang nyaman dalam konteks livable city, sebenarnya berasal dari proses perubahan pola pikir yang panjang, terutama keinginan sebuah harapan hidup yang lebih baik.
Ketika sebuah livable city dihadirkan, didalamnya mencakup sebuah konsep hunian yang nyaman dan berkelanjutan (sustainable). Artinya ada pertimbangan lingkungan yang tidak hanya bebas banjir, namun bagaimana mengatasi persoalan banjir.Â
Sehingga Kota Mandiri tidak hanya sekedar dibangun ekslusif dengan lingkungan "anti banjir", namun disekelilingnya justru menjadi "langganan banjir". Sehingga pembangunannya harus mempertimbangkan banyak faktor.
Meskipun kelemahan untuk mewujudkannya membutuhkan biaya yang sangat besar, sehingga  diperlukan investasi yang besar dari pihak pemerintah dan swasta untuk bisa mewujudkan konsep Kota Mandiri.
Harus ada rekomendasi yang tepat untuk meningkatkan konsep Kota Mandiri agar lebih efektif dan efisien dalam mengatasi masalah urbanisasi di Indonesia.
Pertama, pemerintah dapat meningkatkan kerjasama dengan sektor swasta untuk mempercepat pembangunan kota.
Kedua, pemerintah perlu memperhatikan aspek lingkungan dalam pembangunan kota, sehingga kota yang terbangun benar-benar sehat dan nyaman untuk ditinggali.
Ketiga, pemerintah perlu membuka akses kepada masyarakat dalam membangun kota mandiri dengan menyediakan informasi dan pelatihan yang dibutuhkan.
Bahwa ketika merancang kota tidak hanya merancang bangunan tetapi juga merancang kehidupan, yang menyentuh jasmani dan rohani, baik psikis maupun visual.
Bahwa pembangunan kota mandiri tidak boleh menimbulkan masalah baru berkaitan dengan lingkungan yang ada disekitarnya. Sehingga masyarakat tidak menganggap kehadiran kota mandiri sebagai ancaman bagi lingkungan lama yang ada disekitarnya.
Dan sejatinya para pengembang dan perancang Kota Mandiri dalam kajiannya harus memahami masalah-masalah yang timbul dengan memutuskan kebijakan publik yang serasi (harmony), selaras (compatible), setara (equity), seimbang (equlity), dan nyaman (livable) dalam melayani kebutuhan masyakat banyak.
Bahwa bentuk kota adalah hasil interaksi antara masyarakat dengan lingkungan alam dan dibantu oleh rekayasa teknologi yang di payungi kebijakan dalam memenuhi kebutuhan mereka, psikis dan fisik.
Membangun Kota Mandiri Layak Huni
Sebuah kota ideal yang dibangun mestilah memasukkan inklusivitas, konsep yang menekankan keberagaman, penerimaan, dan kesetaraan.Â
Ini adalah gagasan bahwa setiap individu memiliki hak yang sama untuk mengakses dan menikmati berbagai aspek kehidupan kota.Â
Bagian penting dari upaya menciptakan hunian yang inklusif adalah menciptakan ruang yang dapat dinikmati oleh semua orang. Dan secara sederhana gagasan pembangunan livable city haruslah mengacu pada 4 pilar: Live, Learn, Work, and Play.
Pertama; Konsep Live
Mengacu pada sarana dan prasarana yang mendukung kebutuhan hidup masyarakat, bahwa keberadaan hunian, pusat perbelanjaan, ruang publik, akses jalan, dan keamanan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Learn.
Kedua; Learn
Meliputi ketersediaan dukungan sarana seperti sekolah formal, sekolah vokasional, sekolah dasar hingga atas, serta universitas nasional dan internasional.
Ketiga; Work
Hal ini berkaitan dengan ketersediaan sarana dan prasarana mendukung kebutuhan profesional dan lapangan kerja, seperti: pusat perkantoran, green office, kota industri, serta area komersial.Â
Keempat; Play
Ini meupakan inti kekuatan dari rasa nyaman pemilik hunian mengacu pada ruang terpenuhinya kebutuhan emosional dan rekreasi masyarakat, Â pusat olahraga, taman rekreasi, hingga pusat kuliner.
Namun tantangannya adalah bahwa penerapan konsep pembangunan livable city masih belum menjadi konsen bagi para pengambang hunian yang ada di Indonesia. Terutama trend dan kebutuhan orang untuk mendapatkan rumah tinggal atau lingkungan pemukiman yang ideal.
Saat kita berusaha menciptakan hunian, kita harus selalu mengingat bahwa gagasan kota mandiri yang layak huni harus bisa mengakomodir kebutuhan banyak orang dari berbagai kalangan untuk mendapatkan inklusifitas yang sama untuk menjawab pertanyaan besar bagaimana seharusnya sebuah kota mandiri yang layak huni dibangun.
Apalagi kini pembangunan harus dikaitkan dengan Prinsip Environmental, Social, Governance (ESG) dalam membangun gagasan Livable city yang semakin baik.Â
Berupa komitmen nyata perusahaan dalam menurunkan emisi karbon, meningkatkan green economy, serta mendukung visi pemerintah dalam menerapkan net zero emission.
Bahwa solusi Kota Mandiri yang layak huni atau solusi livable City harus sejalan dengan gagasan pembangunan yuang menunjang isu keberlanjutan (sustainability issues) yang bermuatan --lingkungan, sosial, ekonomi kota- yang harus dijawab dengan meletakkan efisiensi, intensifikasi, konservasi, revitalisasi dalam menyelaraskan pembangunan kembali kota (sustainable urban redevolopment movement).
Sehingga ketika membangun Kota Mandiri yang layak huni (livable city), Â selain penyesuaian dengan karakter kota, juga pentingnya melihat kondisi perkembangan kota (pola pergerakan, transport, pola tata guna lahan), juga harus melihat optimalisasi kebijakan antara yang bersifat tarik dan tekan (pull-push politicies).
Dari sisi lingkungan; harus dapat memaksimalkan efisiensi energi, konservasi sumber daya alam dalam konteks isu lingkungan yang lebih luas.Â
Dari sudut pandang sosial; harus dapat meningkatkan kualitas hidup, Dan dari sisi ekonominya harus mampu  mendorong eksistensi ekonomi.
Dengan melihat banyak aspek sebagaimana kajian para ahli, penerapan livable city di Indonesia harus melihat aspek;
Pertama; Penataan lingkungan, bagaimana meningkatkan kualitas dengan menggunakan faktor demografi dan lingkungan; kepadatan penduduk dan efisiensi penggunan lahan dan insfrastruktur kota.
Kedua ; Konsentrasi kegiatan, harus dapat tepat menyatukan banyaknya ragam kegiatan, seperti pusat kegiatan publik pada suatu kawasan untuk memenuhi semua kebutuhan rekreatif masyarakat.
Ketiga; Intensifikasi dengan mendorong moda trasnportasi publik yang ramah lingkungan dan mengurangi ketergantungan pada kendaraan pribadi.
Keempat; pertimbangan besaran dan akses kota, dengan menurunkan  atau efisiensi jarak tempuh, akses dan efektifitas area dalam perkotaan yang lebih baik, seperti hadirnya transportasi publik.
Kelima; target kesejahteraan sosial-ekonomi; dengan meningkatkan kualitas hidup lebih baik,
Keenam; proses perbaikan menuju kota kompak; kebutuhan masa depan kota membutuhkan dukungan program yang tepat dan dilakukan secara intensif.
Apalagi ketika pengembang dituntut semakin responsif dengan tuntutan aplikasi kebijakan kota yang menggunakan isu-isu model pembangunan berkelanjutan.Â
Dengan mempertimbangkan enam parameter tersebut, dapat direspon dan dituangkan secara integral dan terpadu  pada cetak biru pembangunan (tata ruang) hunian livable yang lebih baik di masa depan.
Eksklusivitas dan Inklusivitas di Kota Mandiri Mungkinkah?
Kota Mandiri "Livable City" memang menjadi visi masa depan yang menggairahkan, menjanjikan kualitas hidup yang tinggi bagi semua warganya. Namun, untuk mencapai tujuan ini, perlu adanya pendekatan yang tidak hanya eksklusif tetapi juga inklusif.Â
Desain sebuah kota mandiri harus mampu menciptakan lingkungan yang tidak hanya memenuhi kebutuhan masyarakat yang mapan secara ekonomi, tetapi juga memberdayakan dan menyediakan akses untuk semua lapisan masyarakat.
Eksklusivitas dalam konteks kota mandiri mencakup pembangunan infrastruktur mewah, pusat perbelanjaan eksklusif, dan lingkungan perumahan premium.Â
Meskipun hal ini dapat meningkatkan daya tarik kota dan menarik investor, risikonya adalah menciptakan kesenjangan sosial yang besar. Oleh karena itu, perlu diintegrasikan prinsip inklusivitas dalam setiap aspek pembangunan kota.
Penting untuk memastikan bahwa infrastruktur yang dibangun di Kota Mandiri "Livable City" dapat diakses oleh semua warganya.
Dari jalur pejalan kaki yang ramah untuk penyandang disabilitas hingga transportasi umum yang terjangkau dan efisien, infrastruktur harus dirancang dengan memperhitungkan kebutuhan semua lapisan masyarakat.Â
Dengan cara ini, setiap warga dapat dengan mudah mengakses tempat kerja, sekolah, dan pusat kegiatan masyarakat.
Teknologi dapat menjadi alat untuk meningkatkan inklusivitas dalam kota mandiri. Pembangunan smart city, dengan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi, dapat meningkatkan efisiensi layanan publik, memastikan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan, dan meningkatkan aksesibilitas informasi untuk semua warga.
Langkah terpenting dalam membangun kota mandiri yang inklusif adalah melibatkan masyarakat dalam proses pembangunan. Pendekatan "bottom-up" memastikan bahwa kebutuhan dan aspirasi semua warga diakomodasi.Â
Keterlibatan aktif masyarakat dalam perencanaan dan pengambilan keputusan akan membentuk kota yang mencerminkan keinginan dan kebutuhan mereka.
Mestinya inklusifitas bisa diakomodir dalam konsep Kota Mandiri "Livable City," dan seharusnya tidak hanya terbatas pada pendekatan eksklusif.Â
Meskipun ada potensi bahwa kota mandiri dapat terlihat elit karena fokus pada kualitas hidup yang tinggi, ini tidak harus berarti eksklusifitas yang ekstrim.
Agar inklusifitas dapat diintegrasikan dengan baik dalam pengembangan Kota Mandiri "Livable City", bisa saja dengan wujud perencanaan yang berimbang, dimana  perencanaan kota harus memperhitungkan kebutuhan semua lapisan masyarakat, termasuk mereka yang mungkin tidak mampu mengakses fasilitas premium.
Tentu saja harus ada kebijakan Pemerintah yang mendorong inklusivitas, dimana Pemerintah kota harus mengembangkan kebijakan yang mendukung inklusivitas, termasuk subsidi perumahan, layanan sosial yang merata, dan regulasi yang menghormati keberagaman masyarakat.
Menciptakan kota yang benar-benar "livable" memerlukan pendekatan yang inklusif, di mana semua warga memiliki akses dan kesempatan yang sama.Â
Dengan mengintegrasikan prinsip inklusivitas dalam perencanaan kota, kita dapat membentuk lingkungan yang tidak hanya indah tetapi juga adil, berkelanjutan, dan penuh potensi bagi semua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya