Aku menunggu sedikit cemas.
Pagi sekali aku sudah bangun membersihkan halaman rumah. Waktu baru menunjukkan pukul 8 pagi lewat. Bukan loper koran langganan  yang datang, tapi justru tak lama berselang, bumi tiba-tiba berguncang kuat.
Gempa kuat yang baru pertama kali aku alami selama hidupku tiba-tiba mengguncang bumi seperti amarah yang meledak. "Mak!, keluar cepat "teriakku panik sambil berlari masuk ke dalam berusaha menarik tangannya, yang masih kebingungan dengan gempa yang tiba-tiba.
Aku matikan kompor, dan meteran listrik di teras depan sebelum berlari menjauh keluar rumah, dan duduk di jalanan bersama kumpulan tetangga yang sudah lebh dulu berada disana.
'Gempanya mungkin lebih dari 8", kata ibu tetanggaku menebak kekuatan gempa besar itu. Aku hanya mengangguk karena masih gemetar, sambil memeriksa adik perempuanku untuk memastikan. "Jangan jauh-jauh, jangan masuk dulu ke dalam rumah, gempanya belum reda"Â kataku cemas.
Tak berselang lama, sesuatu yang tak terduga muncul, gelombang hitam, meliuk seperti geliat ular dari arah sekolah di arah utara rumah. Bergerak begitu cepat menyambar ujung rumah, sebelum pecah berhamburan ke arah kebun luas dan hamparan lapangan bola dekat rumah.
Tsunami?. "AIr laut naik....air laut naik," teriak orang-orang yang berlarian dari kampung sebelah dengan baju berbalut lumpur.
Aku dilanda kepanikan, menarik tangan mamak dan adikku, berlari menjauh sebisanya diantaranya air yang terus bergerak hingga ke mata kaki.
***
Hingga dua atau tiga bulan kami menjadi pengungsi. Menempati barak darurat. Makan dari dapur darurat bersama ratusan pengungsi lain.
Aku bahkan telah melupakan pengumuman CPNS yang aku tunggu-tunggu dengan cemas beberapa bulan kemarin.
Tapi ketika kembali dari pengungsian beberapa bulan setelahnya, aku mendapat kabar gembira. Pengumuman dirilis, berbeda dari tahun sebelumnya berita itu menyebutkan jika daerahku kehilangan ribuan guru akibat tsunami.