Mohon tunggu...
Rini Wulandari
Rini Wulandari Mohon Tunggu... Guru - belajar, mengajar, menulis

Guru SMAN 5 Banda Aceh http://gurusiswadankita.blogspot.com/ penulis buku kolaborasi 100 tahun Cut Nyak Dhien, Bunga Rampai Bencana Tsunami, Dari Serambi Mekkah Ke Serambi Kopi (3), Guru Hebat Prestasi Siswa Meningkat

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Nyamuk Wolbachia Hadir, Program 3M Plus Berantas Jentik Nyamuk Tak Boleh Absen

23 November 2023   11:17 Diperbarui: 7 Desember 2023   21:56 321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 gotong royong bersih lingkungan sumber gambar homecare

Hasil tersebut kemudian memberikan kita jawaban, bahwa nyamuk berwolbachia efektif bisa menurunkan sampai 77% infeksi dengue dan mencegah hospitalisasi hingga 83%. Artinya pasien yang terkena infeksi dengue, infeksinya ringan. Hal itu artinya bahwa sejauh ini setelah melalui rangkaian uji coba, Wolbachia dianggap bisa mengurangi transmisi infeksi virus dengue ke tubuh manusia.

Tentu saja inovasi ini harus disambut gembira karena dapat mengatasi penyakit endemik yang setiap tahun selalu saja mengambil korban. Temuan ini menjadi terobosan. Tentu saja semua oran rasanya pernah tahu jika tidak mengalami langsung, cara pemerintah kita mengatasi penanganan kasus DBD dengan menggunakan istilah 3M, dan fogging.

Fogging justru bisa menimbulkan dampak baru sesak nafas, sehingga wolbachia dianggap solusi baru yang baik, apalagi di daerah dengan kepadatan penduduk yang tinggi, sebagaimana pernah diuji cobakan di daerah Kulonprogo, Gunungkidul, dan di Sleman, Bantul, dan Kota.

Wolbachia dan perubahan iklim

Penelitian tentang bakteri Wolbachia ternyata bisa bertahan selamanya dalam tubuh Aedes aegypti dan bisa diturunkan pada generasi nyamuk seterusnya. Sehingga tidak bersifat temporary atau sementara, tapi akan terus menerus ada di dalam tubuh nyamuk Aedest Aegepty yang telah diberi bakteri wolbachia. Ini terbukti pada hasil penelitian pertama yang dilakukan di Queensland, Australia.

Bahwa ternyata sejak pertama dirilis, 12 tahun lalu, Wolbachia masih 100% bertahan di wilayah tempat awal mula di jadikan wilayah sampel penelitian, pernyataan ini dikuatkan Eggi Arguni, peneliti laboratorium bidang diagnostik Wolbachia di MWP Yogyakarta.

Namun dengan adanya perubahan iklim, cuaca panas yang kadang tidak menentu dan begitu menyengat, ternyata bisa membuat frekuensi bakteri Wolbachia yang ada dalam tubuh nyamuk berkurang atau mati-namun tidak hilang. Ini terjadi di Vietnam, yang juga menjadi tempat uji coba Wolbachia.

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMK) memprediksi puncak fenomena iklim El Nino yang memicu cuaca panas ekstrem di Indonesia pada Agustus-Oktober 2023, diperkirakan akan berlanjut hingga awal 2024.

Sehingga para peneliti harus merilis ulang bakteri Wolbachia, yang lebih memiliki daya tahan dari varian sebelumnya. Mengapa ini juga menjadi kekuatiran di Indonesia, karena fenomena El Nino--fenomena pemanasan suku muka laut yang menyebabkan kekeringan dan curah hujan rendah di beberapa wilayah yang sedang terjadi di Indonesia, diperkirakan juga akan membuat kasus DBD melonjak, dan suhu panas akan membuat nyamuk Aedes aegypti semakin ganas. 

Bahkan menurut penelitian yang telah dilakukan, jika suhu udara di atas 30 derajat Celsius, frekuensi nyamuk menggigit akan meningkat 3-5 kali lipat.

Paling tidak wolbachia kini bisa membantu kita mengurangi intensitas penyebaran penyakit dan mengantisipasi penyebarluasan DBD yang terus memakan korban dan masih menjadi penyakit endemik di negara kita.

Dukung dengan Adiwiyata Sekolah?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun