Di daerah tertentu, bahkan tersedia roti selai tradisional sebagai suguhan menu, seperti di Samahani.
Saya baru memperhatikan fenomena kedai kopi lebih cermat ketika pandemi. Ketika normal, kedai kopi hanya sebuah ruang kuliner biasa. Bahkan saya tak ikutan meributkan apakah perempuan boleh bermain di kedai kopi lebih sering, atau perempuan boleh beraktifitas serius di kedai kopi, tentu selama etika dijaga baik-baik.
Kedai kopi mungkin sekedar tempat untuk menikmati segelas kopi, tanpa prasangka tanpa curiga dengan rumitnya debat dan polemik tentang boleh tidak mereka berada di ruang itu. Mungkin sesederhana itu alasannya. Ke kedai ya ngopi!. Tidak rumit, tidak ambil pusing!, always be positif thinking saja.
Ketika “candu” minum kopi menjangkiti kebiasaan selama proses belajar-mengajar daring, saya jadi mudah memahami dan bisa meyakini kata-kata para penggila kopi, tapi dalam narasi yang sedikit berbeda.
Tidak terlalu penting, jika tidak bisa mewakili bukti sebagai penikmat kopi sejati, minimal bisa-lah mewakili kalangan “pencinta kopi daring”. Pokoknya, “digunting atau digiling, yang penting kopi”. Nah lho!
referensiku: 1
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H