Mohon tunggu...
Rini Wulandari
Rini Wulandari Mohon Tunggu... Guru - belajar, mengajar, menulis

Guru SMAN 5 Banda Aceh http://gurusiswadankita.blogspot.com/ penulis buku kolaborasi 100 tahun Cut Nyak Dhien, Bunga Rampai Bencana Tsunami, Dari Serambi Mekkah Ke Serambi Kopi (3), Guru Hebat Prestasi Siswa Meningkat

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Pecandu Kopi Bilang, Kopi Itu Digiling, Bukan Digunting!

27 Juli 2022   19:04 Diperbarui: 21 Juli 2023   21:18 895
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
kopi itu digiling bukan digunting- sumber gambar-mesra berkelana

Sepulang dari jalan-jalan sore berdua, melepas penat setelah seminggu kerja, memilih tempat ngopi yang tak biasa, berbaur dengan kebisingan dan geliat kota dengan secangkir kopi saring kental, inspirasi tiba-tiba berhamburan.

Entah kenapa kepingin menulis tentang kopi. Bisa jadi karena selama pandemi kopi sudah seperti candu. Beraktifitas tanpa kopi jadi tidak terasa seru. Jadi kepikiran pasti seru jika nulis tentang kopi juga. Sepulang dari jalan-jalan ngopi, tulisan ini, lantas diracik serius dengan ditemani secangkir kopi Arabica Ulhe Kareeng yang kental, "meskipun" cuma kopi sachet!.

Pernah dengar apa kata para pecandu kopi yang bilang, “kopi itu digiling, bukan digunting”?. Sebagai orang awam dalam urusan per-kopian, saya menebak pernyataan itu pastilah dimaksudkan, bahwa menikmati kopi semestinya di kedai kopi, tidak sendirian, dan menunya pastilah berupa kopi giling asli yang langsung disaring, bukan kopi sachet!.

Meskipun sama-sama digiling, tapi kopi sachet diyakini oleh para penikmat kopi sejati sebagai fake coffee alias bukan sebenar-benarnya kopi. Maka sebuah iklan kopi sachet harus memaksakan tambahan narasi, “ada kopi aslinya gaes!”.

Sumber: kedai stiker kopi jogja - sulhans
Sumber: kedai stiker kopi jogja - sulhans

Sumber gambar: kopi time - LPPOM MUI
Sumber gambar: kopi time - LPPOM MUI

Kenapa harus membahas kopi sachet alias kopi gunting?. Ini ada kaitan dengan sikon pandemi Covid19 yang tengah merajalela di tahun 2020 ini. Istilah social distancing, physical distancing, work from home, stay at home, bahkan sekolahpun harus daring alias dalam jaringan alias online alias Belajar Dari Rumah (BDR).

Kondisi ini ternyata berimbas pada tradisi kita dalam menikmati kopi. Sehingga muncul istilah kopi drive thru, kopi take away karena larangan membuka kedai kopi dan larangan berkerumun untuk menghindari penularan pandemi covid19.

Menurut saya akan semakin menarik jika kosakata dunia per-kopian ditambahkan istilah baru “kopi daring” dan “Kopi luring”. Mengapa?, ini cuma sekedar untuk membedakan mana kopi yang mainstream dan mana yang spesial pandemi. 

Kopi luring alias di luar jaringan, dimaknai sebagai cara ngopi tradisional, tentu di kedai kopi atau kafe dan semacamnya. Sementara kopi daring alias online, kurang lebih ditujukan untuk kopi sachet.

ngopi jumbo, why not!-sumber foto-willian a lewis jr
ngopi jumbo, why not!-sumber foto-willian a lewis jr

Sumber: secangkir kopi inspirasi - medcom.id
Sumber: secangkir kopi inspirasi - medcom.id

Bagi saya yang berprofesi sebagai cekgu, mungkin tak begitu penting apakah harus kopi daring atau luring. Pasalnya sebagai perempuan saya sadar diri, bukan sebagai penguasa wilayah yang konon katanya adalah wilayah maskulin. Jadi buat saya proses belajar-mengajar lebih penting daripada sekedar membahas polemik itu.

Tapi ternyata, tanpa kopi, baik panas atau dingin, prosesi belajar-mengajar di sekolah dan di rumah, jadi terasa hambar dan tidak nendang!. Meskipun, kata orang kopi itu pahit, ternyata lebih pahit jika pasangan hidup direbut sesama penikmat kopi-parah abis!. 

Kata sebuah iklan di punggung kaos yang diberi label-maniak kopi poenya barang. Makanya sepahit-pahit kopi masih menyisakan rasa nikmat, karena tidak membuat hati terluka.

Segelas Kopi, sepenuh inspirasi

Sumber: kedai kopi asyik - stiker kopi jogja - sulhans
Sumber: kedai kopi asyik - stiker kopi jogja - sulhans

Kopi--persisnya entah sejak kapan, telah menjadi “teman baik” saya, tanpa memandang usia, asal usul, bahkan robusta atau arabika, apalagi perbedaan haluan partai politik. Meskipun ukurannya cuma jenis “kopi feminis”, saya menyebut begitu untuk membedakan dengan sebutan orang tentang kopi pahit, tanpa gula yang mungkin tepat disebut sebagai “kopi maskulin”.

Sementara kopi feminis, mungkin bisa coffee latte, capuchino, mochacino, atau kopi manis dingin alias “kopi mandi”. Setidaknya, begitu yang saya pahami sebagai orang awam, tapi merasa sok tahu.

Bagi saya segelas kopi menuangkan banyak inspirasi, terutama ketika pekerjaan bertumpuk, ritme jadwal tidur terganggu, sakit kepala menjalar sekujur kepala atau bahkan setengahnya. 

Ketika kopi atau tepatnya komposisi kafein dalam takaran yang menurut saya “pas” dengan mood, dengan segera merubah suasana menjadi nyaman dan seketika inspirasi mengalir, termasuk ketika menuliskan narasi konyol dan awam tentang kopi ini.

Bahkan ketika hunting foto, atau mencari bahan videografi, berblusukan ke pasar, menyusuri antero kota, bahkan ketika kencan dengan suami di akhir pekan dan hanya berdua meski tanpa rencana setelah seminggu kerja, kopi tetap menjadi teman yang tak terpisahkan. Syukurlah jika kopi ternyata tidak berdampak pada warna kulit, kecuali sedikit kekuatiran karena kopi diduga menjadi pemicu penyakit. 

Meskipun medis menyebut bahwa resiko kanker, diabetes melitus tipe 2, insomnia, jantung dan kehilangan konsentrasi, semua bergantung pada sifat genetika masing-masing orang, terutama kemampuannya dalam metabolisme tubuh.

Kajian medis yang lain, malah menyingkap sebaliknya, kandungan kafein-jenis senyawa kimia alkaloid dikenal sebagai trimetilsantin yang kandungannya berkisar antara 1-1,5 % dalam kopi, demikian juga komposisi beberapa antioksidan seperti polifenol, flavonoid, proantosianidin, kumarin, asam klorogenat, dan tokoferol, secara umum justru menjadi pencegah kerusakan sel dan penghambat pertumbuhan sel kanker melalui pengikatan sejumlah radikal bebas. (Yanagimoto; 2004). Benar atau tidaknya, kita serahkan pada ahlinya, karena “kapasitas” kita adalah menikmati citarasa kopinya saja.

Persekongkolan saya dan kopi selama daring semakin intens. Tidak siang, tidak malam, nyaris sepanjang hari kopi menemani aktifitas, sehingga saya nyaris menjadi “maniak kopi alias pecandu kopi”, meskipun secara daring alias kopi sachet-an dan kopi feminis pula. 

Rutinitas itu makin menggila selama pandemi, ketika kebijakan model pembelajaran daring dipilih oleh kemendikbud Nabiel Makarim.

Kerinduan dengan murid hanya bisa diobati dengan format aplikasi zoom, dalam tampilan wajah seukuran phasphoto 4x6, berjejer dalam kolom-kolom yang statis atau bergerak pelan menurut tingkat loading. 

Sementara pertemuan tatap muka mungkin masih harus menunggu hingga vaksin dipakai diakhir 2020 atau awal 2021. Entah itu vaksin merah putih, sinovac, GX-19 atau sinopharm. Maka persiapan rutinitas proses belajar-mengajar sejak pagi, selalu dimulai dengan mempersiapkan diri, bahan ajar, perangkat gadget seperlunya dan pastilah segelas kopi mandi-kopi daring.

Kala sebelum pandemi-pun, tradisi minum kopi buat saya juga spesial, apalagi kala berdua dengan pasangan, jadi meskipun tak harus dengan speciality kopi, seperti halnya kopi luwak atau kopi Gayo, kopi tetap sejuta rasanya. Saya juga tak begitu paham benar bedanya antara robusta dan arabika, termasuk jika dipaksa melakukan cupping, semacam prosesi tester untuk mengetahui apakah sejumput kopi merupakan varian tertentu. 

Bagaimanapun saya adalah pecinta kopi yang awam dengan citarasa, meskipun jika harus memilih, kopi Ulhee Kareng sachet sekalipun, masih menjadi primadona selera saya, dibanding merek-merek kopi lainnya.

Cerita Kedai Kopi Kala Pandemi

Sumber gambar: kedai stiker kopi jogja - sulhans
Sumber gambar: kedai stiker kopi jogja - sulhans

Terlepas dari debat apakah kopi sejati harus kopi hitam, dan fake coffee diwakili oleh kopi sachet, budaya minum kopi tetaplah memiliki daya tarik yang luar biasa. 

Kopi daring begitu saya menyebut kosakata kopi pilihanku sendiri, apakah sachet atau giling keduanya sekarang menjadi tidak penting, karena tetap bisa memberi warna dalam setiap aktifitas harianku, membantu mengurangi beban sakit di kepala yang menandakan kita masih punya kepala dan masih bisa digunakan untuk berpikir positif.

Ketika sesekali menikmati suasana kota, dan melonggok deretan kedai kopi selama pandemi, memang terasa masygul, apalagi ketika perintah lockdown parsial berupa pemberlakuan jam malam terbatas. 

Beberapa kedai kopi tutup total dan menempelkan kertas pengumuman, permohonan maaf karena harus menutup kedai sementara waktu. Kedai-kedai kopi lainnya setengah tertutup, setidaknya mereka masih berusaha “melawan” situasi, dalam rangka mempertahankan tradisi minum kopi. 

Bahkan ada model kedai kopi, buka-tutup pintu hanya khusus selama pengunjung keluar-masuk ke kedai dan di dalamnya maniak kopi berkerumun tak peduli pandemi. Mungkin mereka berkeyakinan, kopi dan rokok bisa mengusir virus. Entah benar atau tidak, karena belum ada yang menuliskan tentang kajian itu.

Terlepas dari vonis kategori zona merah, kuning, atau hijau, yang mewakili tingkat ke-gawat daruratan pandemi, namun di Aceh, minum kopi memang tradisi yang akan terus menggila. Ratusan kedai kopi, berderet, berdampingan, berhadapan, tapi uniknya, masing-masing punya pelanggan dan penikmat sejati.

Bagi pendatang yang pertama ke Aceh, pemandangan itu mungkin akan menakjubkan, dan selanjutkan akan lebih menakjubkan, ketika kedai kopi ternyata menjadi “melting pot”, tempat meleburnya budaya, pemacu denyut nadi kota, dan tempat berkumpul banyak orang dari semua kalangan. 

Tanpa batasan kasta, berdasi atau bersarung, berparpol atau independen, incumbent atau pemain baru, ashoe lhok atau awak baroe. 

Bahkan soal keberadaan perempuan yang seringkali masih menjadi bahan polemik. Terutama karena persoalan etis, adat, budaya dan tentu saja status kesyariatan yang disandang Aceh hingga saat ini.

Kelak ketika waktunya pas dan kondisi pandemi berlalu, saya ingin mengajak anggota keluarga menikmati kembali, dinamika kedai kopi, menikmati “kopi luring” yang disaring langsung. 

Menikmati penganan dan jajanan, menyantap kuliner teman kopi yang padu padan tak tergantikan dengan kedai kopi; mie goreng, martabak, nasi gurih, yang gerobak dagangannya menutup ruang depan dan menyisakan sedikit selasar sebagai pintu masuk. 

Di daerah tertentu, bahkan tersedia roti selai tradisional sebagai suguhan menu, seperti di Samahani.

Saya baru memperhatikan fenomena kedai kopi lebih cermat ketika pandemi. Ketika normal, kedai kopi hanya sebuah ruang kuliner biasa. Bahkan saya tak ikutan meributkan apakah perempuan boleh bermain di kedai kopi lebih sering, atau perempuan boleh beraktifitas serius di kedai kopi, tentu selama etika dijaga baik-baik. 

Kedai kopi mungkin sekedar tempat untuk menikmati segelas kopi, tanpa prasangka tanpa curiga dengan rumitnya debat dan polemik tentang boleh tidak mereka berada di ruang itu. Mungkin sesederhana itu alasannya. Ke kedai ya ngopi!. Tidak rumit, tidak ambil pusing!, always be positif thinking saja.

Ketika “candu” minum kopi menjangkiti kebiasaan selama proses belajar-mengajar daring, saya jadi mudah memahami dan bisa meyakini kata-kata para penggila kopi, tapi dalam narasi yang sedikit berbeda.

Tidak terlalu penting, jika tidak bisa mewakili bukti sebagai penikmat kopi sejati, minimal bisa-lah mewakili kalangan “pencinta kopi daring”. Pokoknya, “digunting atau digiling, yang penting kopi”. Nah lho!

referensiku: 1

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun