Bagaimanapun saya adalah pecinta kopi yang awam dengan citarasa, meskipun jika harus memilih, kopi Ulhee Kareng sachet sekalipun, masih menjadi primadona selera saya, dibanding merek-merek kopi lainnya.
Terlepas dari debat apakah kopi sejati harus kopi hitam, dan fake coffee diwakili oleh kopi sachet, budaya minum kopi tetaplah memiliki daya tarik yang luar biasa.
Kopi daring begitu saya menyebut kosakata kopi pilihanku sendiri, apakah sachet atau giling keduanya sekarang menjadi tidak penting, karena tetap bisa memberi warna dalam setiap aktifitas harianku, membantu mengurangi beban sakit di kepala yang menandakan kita masih punya kepala dan masih bisa digunakan untuk berpikir positif.
Ketika sesekali menikmati suasana kota, dan melonggok deretan kedai kopi selama pandemi, memang terasa masygul, apalagi ketika perintah lockdown parsial berupa pemberlakuan jam malam terbatas.
Beberapa kedai kopi tutup total dan menempelkan kertas pengumuman, permohonan maaf karena harus menutup kedai sementara waktu. Kedai-kedai kopi lainnya setengah tertutup, setidaknya mereka masih berusaha “melawan” situasi, dalam rangka mempertahankan tradisi minum kopi.
Bahkan ada model kedai kopi, buka-tutup pintu hanya khusus selama pengunjung keluar-masuk ke kedai dan di dalamnya maniak kopi berkerumun tak peduli pandemi. Mungkin mereka berkeyakinan, kopi dan rokok bisa mengusir virus. Entah benar atau tidak, karena belum ada yang menuliskan tentang kajian itu.
Terlepas dari vonis kategori zona merah, kuning, atau hijau, yang mewakili tingkat ke-gawat daruratan pandemi, namun di Aceh, minum kopi memang tradisi yang akan terus menggila. Ratusan kedai kopi, berderet, berdampingan, berhadapan, tapi uniknya, masing-masing punya pelanggan dan penikmat sejati.
Bagi pendatang yang pertama ke Aceh, pemandangan itu mungkin akan menakjubkan, dan selanjutkan akan lebih menakjubkan, ketika kedai kopi ternyata menjadi “melting pot”, tempat meleburnya budaya, pemacu denyut nadi kota, dan tempat berkumpul banyak orang dari semua kalangan.
Tanpa batasan kasta, berdasi atau bersarung, berparpol atau independen, incumbent atau pemain baru, ashoe lhok atau awak baroe.
Bahkan soal keberadaan perempuan yang seringkali masih menjadi bahan polemik. Terutama karena persoalan etis, adat, budaya dan tentu saja status kesyariatan yang disandang Aceh hingga saat ini.
Kelak ketika waktunya pas dan kondisi pandemi berlalu, saya ingin mengajak anggota keluarga menikmati kembali, dinamika kedai kopi, menikmati “kopi luring” yang disaring langsung.
Menikmati penganan dan jajanan, menyantap kuliner teman kopi yang padu padan tak tergantikan dengan kedai kopi; mie goreng, martabak, nasi gurih, yang gerobak dagangannya menutup ruang depan dan menyisakan sedikit selasar sebagai pintu masuk.