Simbok jadi milih jalan ngeliling lewat  kampung. Padahal kalau lewat rumah-rumah loji di kampung baru, lebih dekat. Akan melewati rumah non Roosye.
Orang tua non Roosye juga sudah pulang ke negeri Belanda. Non Roosye yang temennya non Dian anak ndoro kakung, sudah dikawin anak pemilik truk yang suka ikut nyopiri truk yang antri gula  di PG.Â
Sambil antri gula di gudang yang terletak depan rel, kok terus jauh cinta sama non Roosye.
Mangkanya simbok berani pulang malam hari, walaupan lewat rel sepur. Banyak pemilik, anak pemilik dan sopir truk antri gula. Dari siang-sore-malam-pagi tidak  pernah sepi.  Sepertinya gudang penyimpanan gula itu dulunya stasiun sepur. Soalnya sekarang cuma tinggal rel sepur yang malang melintang  tidak hanya satu, di depan gudang gula. Sepurnya juga setiap kali lewat, membawa orang dari kota Kediri ke  kota kecil Gurah, atau sebaliknya.Â
Pas simbok lewat depan rumah pak Slamet yang merupakan salah satu sopir di PG, ada 2 orang laki-laki di teras depan rumah. Keduanya memakai baju putih dan celana putih rapi. Simbok permisi lewat  dan menyampaikan selamat malam. Kedua laki-laki itu diam saja, tetapi juga tidak mengganggu perjalanan pulangnya simbok dari rumah ndoronya ke rumahnya.
*****
Keesokan harinya di kampung tempat pak Slamet tinggal, ramai sekali. Mbah Wuri, ibunya pak Slamet meninggal dunia. Mbah Wuri memang sudah lama sakit tbc tulang. Badannya makin kecil dan sudah lama tidak bisa bangun. Cucunya yang rajin memandikan dan menyuapi makanan.Â
"Apa yang dilihat simbok tadi malam itu malaikat Israil ya pa?" tanya Dian kepada papanya.
"Ah ...," kata papanya enggan memberikan komentar
Simbok juga tidak banyak omong kepada orang-orang lain tentang apa yang dilihatnya tadi malam. Dia khawatir, sedikit certa saja, di perumahan PG mudah merebak membuat heboh.Â
Dian juga hanya memikirkan, sepertinya simbok punya indra keenam. Bisa melihat apa yang tidak bisa diliht oleh orang lain.