Zaman dulu ... terjadinya kesepian bila tak ada kawan. Rasa sepi terasa juga, pada waktu matahari sudah enggan menemani.
Membuang kesepian, bisa dilakukan dengan pergi mencari teman. Atau menanti, ada teman yang mencari.Â
Pak Sastro tinggal di perumahan sebuah pabrik gula (PG) di sebuah kota. Seperti biasa perumahan PG ada di sekitar pabriknya. Jauh dari kota. Sepi ...
Agar tidak kesepian, paling sederhana pak Sastro membangun keluarga. Jadi ada bu Sastro menghilangkan rasa sepi, yang dengan setia menemani setiap saat.Â
Sebaliknya, bu Sastro juga jauh dari rasa sepi. Disibukkan dengan harus menukarkan baju bekas menjadi telur ayam. Yang digunakan sebagai lauk makan anak-anaknya yang sebanyak 6 orang.Â
"Kalau beli telur aja susah, mengapa pak Sastro mempunyai banyak anak?" tanya angin malam mendesirkan suaranya.
"Gara-gara engkau bertiup membawa angin dingin."
Pada siang hari, memang banyak yang dilakukan pak Sastro sebagai karyawan PG. Apalagi kalau PG sedang giling.
Begitu juga bu Sastro, yang sibuk mengurusi anak-anaknya yang berangkat ke sekolah.
Anak pertama dan kedua sudah bisa menyiapkan diri sendiri. Tapi anak ketiga dengan  rambut  panjang, tetapi tidak bisa menguncir sendiri.
Anak keempat dan kelima yang keduanya laki-laki. Masih harus dimandikan. Disiapkan baju, kaos kaki dan sepatu.
Anak ketiga dan keempat semuanya masih harus dibantu menata tas.
Anak ke lima, bukan sekedar dibantu. Tetapi semua isi tas harus ditata oleh bu Sastro.
Anak pertama dan kedua yang sudah pintar menyiapkan diri sendiri. Tetapi tetapi ... eh kalau bu Sastro melakukan cek tas, isinya banyak surat cinta. Bu Sastro jadi sibuk memberikan nasihat.
Anak ke 6 selalu bersamanya, sepanjang waktu sepanjang hari.
Bila matahari sudah sembunyi malam hari. Dingin mencekam. Pak dan bu Sastro saling mencari kehangatan, saling memeluk menghadapi kesepian 1960.
Pihak PG penuh pengertian terhadap warganya. Dengan menyediakan bus sekolah, pagi hari bagi anak-anak. Juga bus belanja, tengah hari bagi ibu-ibu. Dan bus rekreasi pada malam hari bagi keluarga, tapi cukup seminggu 2x.Â
Bagi yang beragama Kristen masih ada bus untuk ke gereja. Bagi yang beragama Islam, ada mesjid di sekitar perumahan PG.Â
Keluarga pak dan bu Sastro menikmati kebersamaan dengan keluarga. Dan teman-teman sepekerjaan. Terus dan terus demi hilangnya rasa sepi.Â
Satu per satu anak-anaknya menikah. Dan lambat laun pak Sastro pun harus pensiun. Meninggalkan perumahan yang jauh dari kota.Â
Kesepian lain mendera. Angin pedesaan yang dibawa oleh lambaian pohon cemara berjajar tak lagi menyegarkan dirinya. Â
Kentongan yang berdentang setiap jam pada malam hari, tak pernah terdengar lagi.Â
Riuh anak-anak yang menyatakan banyak kebutuhan senyap. Tak pernah tampak kesibukan bu Sastro menukarkan baju bekas dengan telur ayam.Â
Dia pun hanya disibukkan dengan mengetik kata-kata, mengirim atau menunggu kabar anak-anaknya. Begitu juga dengan bu Sastro.Â
Hiburan dengan membaca berita-berita WA dari banyak penjuru menjadi kegiatan utama sehari-hari. Entah berita benar, atau yang sering dikatakan hoax begitu. Ini baru kesepian 2022.Â
Bagaimana kesepian 2045 menjadi bayang-bayang, bagi yang ketinggalan perkembangan teknologi digital?
Pak dan bu Sastro hanya saling diam. Zaman dulu menghilangkan rasa sepi dengan saling memeluk. Zaman sekarang saling menggenggam erat ponsel masing-masing.
Bandung, 11/01/2022.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H