“Itu buah lerak,” kata Diah menjelaskan, “Bagus untuk mencuci batik.”
“Dari mana asal buah lerak?” tanya Bakti semakin ingin tahu.
“Ini pohonnya,” jawab Diah sambil menunjuk pohon yang berdiri tegak di halaman depan rumahnya.
Bakti terkagum dengan sebuah pohon yang sangat tinggi dan besar, dengan banyak buah yang lebat menjuntai. Dicobanya untuk mengukur besar pohon dangan memeluknya.
“Tak sampai,” katanya, “Pohonnya sangat besar.”
Tiba-tiba dari arah berseberangan Diah juga melingkarkan tangannya. Dan bersentuhanlah tangan mereka. Diah sebetulnya hanya ingin menunjukkan ukuran besarnya pohon, sebesar rangkulan 2 manusia. Tetapi Bakti yang terkejut, malahan menggenggam erat. Diah juga menjadi terkejut dan malu.
“Diah, ayo ajak temanmu masuk,” tiba-tiba suara ibu membuat mereka makin terkejut dan makin saling menggenggam erat.
“Ibu sudah menggoreng pisang kepok yang kemarin diambil dari kebun belakang.”
“Baik bu,” kata Diah sambil menarik tangannya genggaman Bakti dengan rasa malu.
Bandung adalah kota mahasiswa yang permai, yang mendapat julukan Paris van Java. Kesejukan yang mirip dengan Ungaran, membangkitkan semangat keduanya untuk belajar dan berkarya sambil memadu kasih.
Mengenyam ilmu di Fakultas Mesin dan Dirgantara, membuat Bakti ingin menetap di Bandung. Setelah dinyatakan lulus sebagai sarjana, dia memilih perguran tinggi menjadi tempat untuk berkarya sambil berbakti. Tak lama setelah Bakti diterima menjadi salah seorang staf pengajar, tali kasih mereka semakin erat.
Diah menyusul lulus sebagai sarjana juga, tidaklah ada keraguan antar mereka segera menikah. Sayangnya setelah menikah dan mempunyai momongan, tidak ada keluarga yang bisa membantu menjaga anak-anaknya. Jadilah Diah lebih memilih menjadi ibu rumah tangga, dengan hanya menerima siswa-siswi untuk les matematika—fisika—kimia di rumahnya.