Armita mengangguk-angguk dengan senyum yang menahan tangis. Seakan ada bisikan terhadap indra rasanya, untuk menggenggamkan tangan mereka lebih erat.Â
Langit meredup menuju senja, kakak Armita datang menengok bersama sahabatnya yang merupakan seorang dokter.Â
Mereka menggunakan baju bagaikan 2 orang astronaut yang siap berangkat terbang. Begitulah baju yang disediakan RS, untuk siapa pun yang akan menengok Arman.Â
Tetapi tidak semua orang bisa masuk menengok. Kakak dan sahabatnya sudah mendapatkan izin khusus dari Armita.Â
Tiba-tiba kaki Arman yang sejak tadi sudah terasa dingin, bergoyang dan bergetar cepat. Sahabat kakak yang memang seorang dokter, bukannya memegang kaki Arman. Malahan memegang bahu Armita, dengan kencang.Â
Setelah Arman mengernyitkan wajah, monitor indikator kritis yang terletak di meja dekat tempat tidur berbunyi.Â
Armita tersentak kaget. Tangis yang selalu ditahan, menjadi isak yang pecah. Garis monitor yang tadinya membentuk garis-garis naik turun, menjadi lurus mendatar.
"Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun," kata sahabat kakak.Â
Sejak kaki bergetar kencang, sahabat kakak telah merasakan. Malaikat Izrail sedang berusaha mencabut nyawa.Â
****"
"Mit, ayo makan," kata ibu memanggil dari depan pintu kamar.