Armita termenung. Tak disangkanya sekarang dia berada di kamar ini lagi. Sebuah kamar di rumah orang tuanya. Kamar yang di huni sejak dia remaja hingga malam pertama bersama kang Arman.
Tepat seminggu setelah Armita wisuda menyandang gelar notaris. Tubuh kang Arman yang tadinya sehat, mendadak panas.Â
Awalnya seperti panas-panas biasa. Seperti gejala radang tenggorokan, atau paling parahnya tifus. Setelah menjalani pemeriksaan dan berbagai tes laboratorium berulang kali, dokter menyatakan Leukimia kronis.Â
Sungguh Armita tak pernah menyangka. Kini kang Arman sudah tiada. Hanya doa yang bisa dia sampaikan. Semoga akang diterima Allah di surga Firdaus.
Setelah lulus dari pendidikan S3 di Jepang dengan beasiswa LPDP dengan membawa Armita dan Dion ke Jepang, kang Arman meniti karir di bidang start up milik salah seorang milenial sukses di negerinya .Â
Saat sang founder terpilih menjadi salah satu staf khusus presiden, Kang Arman terpilih menjadi pimpinan usaha yang memang sedang menanjak.Â
Seiring dengan makin berkembangnya usaha tersebut, karir kang Arman juga makin cemerlang.Â
Mulailah dia meminta istrinya untuk meninggalkan pekerjaan yang dirasakan sebagai lingkungan kerja toksik.Â
Pulang terlalu larut, dan ada rasa curiga terhadap atasan yang suka memundur-mundurkan jam pulang istri.
Walaupun begitu, awalnya mereka tidak gegabah dalam berhenti dari pekerjaan. Dimintanya istrinya untuk menjaga diri terlebih dahulu, setelah memungkinkan barulah dia meminta istri untuk keluar.
Juga memikirkan agar pekerjaan selanjutnya nanti, tidak membuat dirinya terjerat pada lingkungan kerja toksik lagi.Â
Latar belakang pendidikan Armita sebagai Sarjana Hukum (SH), membuat mereka memilih lanjut ke pendidikan notaris.Â
Agar selanjutnya bisa menjalani suatu profesi, yang sekalian sambil memperhatikan anak.
Rencana indah yang sebagian telah dijalani dengan jalan mulus, Armita dinyatakan lulus sebagai notaris.Â
Sementara karir Arman makin dan makin cemerlang. Rumah milik sendiri sudah dalam genggaman. Kendaraan roda 2, mulai jarang digunakan. Beralih dan lebih sering menggunakan kendaraan roda empat.Â
Dion lebih bisa terawasi sendiri, mengurangi penitipan kepada ibu. Bahkan sudah mulai diikutkan pendidikan online seminggu sekali.Â
Gelimang kebahagiaan dinikmati bertiga dengan penuh rasa syukur. Hingga tiba Arman mulai berulang kali menderita demam dan cepat lelah.Â
*****
Armita berulang kali menjaga Arman di rumah sakit untuk menjalani kemoterapi, yang merupakan salah satu pengobatan yang mereka setujui. Sebelum nantinya, katanya bisa sembuh dengan transpalasi sunsum tulang belakang.
Sore dengan langit merah yang tampak dari jendela kamar rumah sakit (RS). Tampak seekor burung bertengger di tepian kusen aluminium.Â
Serasa mendengarkan permintaan seorang Arman kepada istri cantik yang senantiasa setia menamani, untuk kuat dalam menjaga Dion  yang menjadi buah hati mereka.Â
Armita mengangguk-angguk dengan senyum yang menahan tangis. Seakan ada bisikan terhadap indra rasanya, untuk menggenggamkan tangan mereka lebih erat.Â
Langit meredup menuju senja, kakak Armita datang menengok bersama sahabatnya yang merupakan seorang dokter.Â
Mereka menggunakan baju bagaikan 2 orang astronaut yang siap berangkat terbang. Begitulah baju yang disediakan RS, untuk siapa pun yang akan menengok Arman.Â
Tetapi tidak semua orang bisa masuk menengok. Kakak dan sahabatnya sudah mendapatkan izin khusus dari Armita.Â
Tiba-tiba kaki Arman yang sejak tadi sudah terasa dingin, bergoyang dan bergetar cepat. Sahabat kakak yang memang seorang dokter, bukannya memegang kaki Arman. Malahan memegang bahu Armita, dengan kencang.Â
Setelah Arman mengernyitkan wajah, monitor indikator kritis yang terletak di meja dekat tempat tidur berbunyi.Â
Armita tersentak kaget. Tangis yang selalu ditahan, menjadi isak yang pecah. Garis monitor yang tadinya membentuk garis-garis naik turun, menjadi lurus mendatar.
"Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun," kata sahabat kakak.Â
Sejak kaki bergetar kencang, sahabat kakak telah merasakan. Malaikat Izrail sedang berusaha mencabut nyawa.Â
****"
"Mit, ayo makan," kata ibu memanggil dari depan pintu kamar.
Ibu menguakkan pintu yang tetap tertutup. Bersama Dion memasuki kamar. Didekatinya putrinya yang sedang duduk melamun di atas sajadah yang terbentang menghadap kiblat.
Armita menggenggam tangan mungil Dion yang berdiri tegak di hadapannya, sambil menjatuhkan kepala ke pundak ibunya.Â
Dia harus kuat, untuk mulai lagi menjalani semua yang telah ditata bersama kang Arman. Semua yang penuh manfaat bertaburkan keindahan bagi Dion dan dirinya.
Bumi Matkita,
Bandung, 25/05/2021.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H