Mohon tunggu...
Rini DST
Rini DST Mohon Tunggu... Ibu Rumah Tangga - Seorang ibu, bahkan nini, yang masih ingin menulis.

Pernah menulis di halaman Muda, harian Kompas.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Perempuan dengan Liku-liku Perjodohan, Bagaimana Menikmatinya?

21 Mei 2021   20:12 Diperbarui: 21 Mei 2021   21:29 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jodoh adalah bersatunya laki-laki dan perempuan, secara jiwa dan raga dan secara abadi.

Siapa sebenarnya permpuan dengan liku-liku perjodohan? Dialah Jeng Uci. Perempuan paruh baya yang tinggal di desa. 

Ada apa jeng Uci ini, sudah enak-enak tinggal di desa yang permai kok mikirin liku-liku perjodohan lagi? 

Suaminya juga masih merupakan belahan jiwa dan raga, yang Insyaa Allah abadi.

Putrinya yang 2 orang sudah menikah semua. Sudah memberikan 2 cucu yang lucu. 

Gegara kemarin-kemarin ini, putri pertama bersama keluarga kecilnya datang berlebaran ke rumahnya. 

Putrinya, Tika, dan keluarga tinggal di kota, sedangkan jeng Uci dan suami tinggal di desa. Masih di provinsi yang sama, tapi desanya terletak  di sebuah kabupaten. 

"Ini  ada oleh-oleh kue-kue buatan Reni bu," kata Tika"Kasihan dia bu,"

Alam pikir jeng Uci segera melayang kepada Reni, sahabat Tika. Hampir setiap hari pulang sekolah bersama Tika pada masa SMA. 

Selanjutnya bersama-sama Tika dan Reni mendaftarkan diri di sebuah universitas di kota Bandung. Tika mendaftar di Faklutas Kedokteran, sedangkan Reni di Fakultas Kedokteran Gigi. Sekarang semua sudah lulus. 

"Kasihan, sampai sekarang belum mendapat jodoh," Tika melanjutkan.

"Reni anak cantik yang dokter gigi itu belum dapat jodoh?" tanya ibunya ingin lebih meyakinkan. 

"Iya bu," jawab Tika ingin lebih meyakinkan juga.

"Suruh sekolah spesialis atuh," kata ibu, "Seperti kamu yang saat itu juga merasakan tak kunjung  mendapat jodoh."

Tika tersenyum, ingat dulu dirinya juga gelisah saat belum dapat-dapat jodoh. Dan benar ingatan ibunya, dia mengambil langkah melanjutkan ke pendidikan dokter spesialis. 

"Hehehe, ibu masih ingat ya," kata Tika yang juga ikut mengingat kembali, "Dari pada diam di tempat menunggu jodoh, bukankah lebih baik memajukan diri melalui pendidikan."

"Ajarin Reni untuk begitu," sambung ibunya. 

"Nah itu dia bu, Reni tidak mau sekolah lagi," lanjut Tika, "Dia memilih usaha buka klinik sambil sering berkeluh-kesah tentang perjodohan."

"Tetapi sekarang ada pandemi covid-19, dia hanya menerima pasien dengan perjanjian," lanjut Tika, "Sambil menerima pesanan dan menjual kue-kue."

Jeng Uci mencicipi kue bikinan Reni. Enak dan tampak sudah tangkas  dalam membuat kue. Bentuk kue yang rapi seragam, dan ada merek. Sayang mereknya tak terlalu terbaca, kacamata baca lebih sering ditinggalkan di dekat laptop sepanjang pagi dan siang. Atau dibawa ke tempat tidur pada malam hari. 

Gender.

RA Kartini telah melakukan perjuangkan gender dalam dunia pendidikan, yang hasilnya sudah ternikmati oleh banyak perempuan Indonesia. Dan banyak tokoh feminisme lain memperjuangkan hak-hak perempuan dalam hal memilih pekerjaan, jabatan, upah yang setara dan lain-lain.

Gender dalam hal perjodohan, masih belum diperjuangkan secara terbuka. 

"Memang susah," kata ibunya, "Sepertinya belum bisa ya, perempuan yang menembak laki-laki terlebih dahulu."

"Bisa saja sih bu," kata Tika, "Tapi kebanyakan ya tidak ada hasil, malahan dipermalukan."

Lamunan jeng Uci melayang jauh, saat bibinya berniat menjodohkan adik laki-lakinya yang baru lulus sarjana dengan anak tetangganya. Begitu tega bibi mengejar ayahnya dengan berbagai cara, sedangkan bibi tidak pernah ingin menjodohkan dirinya sebagai kakak belum punya jodoh. 

Tapi untungnya perjodohan tidak terjadi. Hehehe. Ayahnya yang tidak pernah terimbas liku-liku perjodohan, sebagai pihak yang memiliki anak laki-laki. 

Walaupun akhirnya adiknya juga menikah, atas usaha perjodohan oleh teman sekantor. Dan adiknya melangkahi jeng Uci, maksudnya menikah duluan. 

"Dulu aja waktu adik ibu menikah duluan, ibu harus menjalani upacara langkahan," kata ibunya.

"Untuk apa bu?" tanya Tika ingin tahu.

"Supaya ibu tidak menjadi perempuan yang tidak laku menikah."

Jeng Uci harus mengelilingi tumpeng dan aneka lauk pauk yang tertata di sebuah ruangan. Katanya maknanya supaya senantiasa selamat dalam perjalanan hidup sebagai kakak perempuan yang dilangkahi oleh adiknya. 

"Kalau kakak laki-laki yang dilangkahi, tidak perlu ada upacara langkahan," kata ibu sambil mengingat masa yang menyedihkan, "Tanda perjodohan tidak adil terhadap perempuan."

Angka-angka yang Menyenangkan. 

Ayah, adik dan keluarga lain memang tidak pernah merasakan bahwa upacara langkahan menjadi peristiwa yang menyedihkan. Tetapi bagi jeng Uci,  sangatlah mengganggu. Dia selalu berusaha agar anak-anaknya tidak terlambat mendapat jodoh. Dan jangan sampai ada upacara langkahan, karena adik menikah terlebih dahulu.

Justru anak-anak yang tenang-tenang saja, apalagi setelah orang tua menyetujui untuk lanjut ke jenjang pendidikan lebih tinggi.

"Reni juga sudah dilangkahi oleh adik perempuan bu," kata Tika.

"Zaman ibu muda, harus ada upacara langkahan," kata ibu.

"Apa karena tidak melakukan upacara langkahan, Reni jadi tidak mendapat jodoh sampai sekarang ya? tanya Tika yang lanjut menjelaskan, "Sekarang usianya sudah 35 tahun."

"Ah ibu tak tahu persis, apakah itu keharusan atau bukan," kata ibu, "Ibu tidak menolak, karena tidak ingin adanya kehebohan."

Trauma pada upacara langkahan yang menyedihkan, Jeng Uci sering memberikan dorongan kepada anak-anaknya untuk segera menikah. 

"Kan ibu dulu juga menikah umur 31 tahun," kata Tika saat itu, "Wajar kalau aku usia 25 belum menikah."

Jeng Uci tidak bisa memaksa, karena setelah memasuki pendidikan dokter spesialis memang makin banyak tugas-tugas yang harus diselesaikan.  Untungnya adiknya juga senang melanjutkan pendidikan ke S2.

Sampai akhirnya Tika mendapat jodoh dan menikah, yang beberapa tahun kemudian juga disusul oleh adiknya.

"Lucu ya bu, angka-angka usia pernikahan kita," kata Tika, "Ibu 31 tahun, aku 30 tahun dan adik 29 tahun."

"Hahaha," berdua mereka tertawa sambil mengatakan dengan serempak, "Sangat menyenangkan." 

Alam Raya.

Jeng Uci selain tidak pernah dijodohkan, juga tidak berbakat menjodohkan. Jangankan liku-liku perjodohan  kepada manusia yang memiliki jiwa dan akal, kepada anggrek yang hanya memiliki raga dia tidak pernah berhasil melakukan perjodohan.

"Sudah sering ibu  berusaha memasukkan tepung sari yang diambil dari tangkainya," kata ibu, "Dan ibu masukkan ke dalam rongga putik, tetapi hasilnya selalu gagal."

"Tapi tadi aku lihat, banyak bakal biji bergantungan dipohon anggrek bu," kata Tika.

"Sepertinya hasil perjodohan oleh kupu-kupu yang banyak beterbangan di sekitar bunga," kata ibu.

Perjodohan memang sangat indah, walaupun bisa menyeihlkan, lucu menyenangkan dan mungkin juga merupakan  anugerah Sang Maha Pencipta alam raya.

"Biarkan alam raya yang menentukan jodoh Reni," kata ibunya, "Biarkan matahari dan seluruh isi alam raya memancarka anugerah kesehatan untuk jiwa dan raga yang suatu hari menemukan belahannya dan bersatu secara abadi."

Tika takjub terhadap pendapat ibunya tentang liku-liku perjodohan. Dia bersyukur, bersama adiknya mereka  telah melalui perjodohan tanpa harus ada kesedihan. Tinggal keabadian seperti yang dimiliki ibunya, jeng Uci, yang sekarang menjadi harapannya. 

Hari-hari berikutnya di desa yang permai Jeng Uci, berdua dengan suami yang merupakan belahan jiwa dan raga yang Insyaa Allah abadi. Mereka menikmati indahnya kupu-kupu yang beterbangan di antara ilalang yang belum sempat dipangkas. 

Bumi Matkita,

Bandung, 21/05/2021.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun