Sekarang istrinya sudah meninggal dunia, begitu juga ndoro dan ndoro putri Sastro juga sudah seda. Itulah yang menyebabkan dia sekarang terdampar di rumah anak perempuannya, di Tanah Abang Jakarta.
Jakarta lo. Kota metepolitan yang indah dan megah. Kota yang ingin didatangi saat sering mendengarkan putra-putri ndoro Sastro menyetel piringan hitam Lilis Suryani, lagu Gang Kelinci.Â
*****
Sudah 5 tahun lebih mbah Karji tinggal di Jakarta. Mbah Karji menjual semua rumah yang bagus yang dibangun di kampung di belakang loji di PG. Rumah hasil kerja sebagai pegawai negeri dan kerja istrinya sebagai tiang wingking. Malahan setelah ndoro Sastro pensiun, mbah Karji yang saat itu masih muda tetap tinggal di kampung di sekitar PG Pesantren, Kediri.
Mengikuti gaya ndoro Sastro yang memelihara ikan mujair di kolam di halaman rumah loji, mbah Karji bersama istri juga memelihara ikan mujair. Tetapi ... kalau ndoro Sastro memelihara ikan untuk senang-senang, mbah Karji dan istri menjual iikan mujair. Dijual sebagai pelengkap makan, dan sebagai bibit.
Setelah dikenal sebagai juagan ikan, mbah Karji melebarkan usaha sebagai pedagang kambing. Dengan membeli anak kambing, lalu dibesarkan. Anak-anaknya setelah selesai sekolah, memelihara kambing di lapangan bola. Anak-anak senang dan kambing kenyang, cepat gemuk. Setelah gemuk kambing dijual ke pedagang sate, pedagang sup kambing dan apalagi kalau Idul Adha dijual sebagai kambing kurban.
"Wis pak jangan ngelamun saja," kata mbak Darmi.
"Iya mbah, ayo memelihara kambing lagi di sini," kata Arda, "Nanti Arda yang membantu memelihara."
Mbah Karji langsung sumringah. Diitungnya tabungan sisa hidup dan jual-jual semua rumah di kampung. Hasil diskusi sama anak mantu, uangnya cukup untuk beli kios kambing yang kecil di Pasar Tanah Abang, Jakarta. Dekat dengan kios milik mantu, tetapi jauh lebih kecil.Â
"Masih cukup untuk beli kambing yang kecil mbah,"kata cucunya dengan senang
"Ya bisa beli 2 kambing jantan dan 2 kambing betina," kata mbak Darmi, "Tapi yang kecil saja ya pak."