Senja yang tak kuharapkan. Senja menjadi kubenci tiba-tiba.Â
Paruh waktu yang ingin kulewati andai bisa.Â
Namun, kehendak alam selalu ada pagi ada senja.Â
Kalau senja menjadi berbeda dan membuatku marah, ini juga takdir dari-Nya.
*
"Kamu sama siapa?" tanya Kak Arda.
Aku tidak langsung menjawab. Sejenak aku berpikir untuk berbohong padanya. Namun, percuma, aku tidak dilahirkan untuk lihai berdalih jika didesak.
"Sama Maro lagi?" Benar, 'kan? Dia bisa menebak aku datang dengan siapa. Bahkan tembakannya tepat.
Aku mengangguk. Apa selanjutnya kakakku ini akan mengomel seperti kemarin? Entahlah. Aku pasrah. Namun, ternyata aku salah mengira. Kak Arda hanya diam. Dia melanjutkan pekerjaannya di dapur. Aku beranjak dan berlalu meninggalkannya menuju ruang tengah. Ada Ellena sedang bergurau dengan si Pussy. Kucing jenis anggora yang berbulu tebal itu duduk nyaman di pangkuan Ellena. Sesekali gadis 10 tahun itu menggelitik si kucing. Mereka saling bergurau.
"Hai, El. Pussy kamu makin gendut, ya?" sapaku.
"Iya, Tan. Tante juga gendutan."
Aku menampilkan wajah protes. Perempuan mana pun akan jengah mendengarnya. Tentu aku tidak ingin berpostur 'gendut' seperti kata Ellena. Kata gendut itu sudah mencederai usahaku menjaga penampilan. Dengan berat 49 kg, posturku tidak termasuk gendut. Apalagi tinggiku 172 cm.
Lebih tepatnya, aku langsing. Seperti kata Maro, "kutilang". Kurus tinggi langsing. Menurutnya, aku masih perlu menaikkan beberapa kilogram lagi. Â Barangkali itu yang membuat aku terlihat 'gendut'.
Ponakanku itu malah tertawa melihat ekspresi keberatanku. Sambil mengelus punggung Pussy, dia tertawa nyaring.
"Tante lucu!"
"Tante marah kok dibilang lucu? Gimana sih kamu!"
Ellena tetap terbahak. Dia seolah tak menanggapi protesku.
"Nggak pantes!" katanya lagi. "Beda. Nggak kayak Mami kalau marah."
Well, aku memang tidak segalak kakakku itu. Kakak perempuan yang selalu perfek terhadap apa saja. Kakak perempuan yang banyak aturan. Beda dengan abangku, Ardi. Dia lebih santai menanggapi hal apa pun.
Mungkin, sebagai kakak tertua yang mengambil alih tugas Ayah dan Ibu, Kak Arda sangat protektif terhadapku. Sejak kecil aku memang menjadi tanggung jawabnya. Aku masih seumuran Ellena saat kedua orang tuaku tiada. Diasuh dan dijaga sebagai si bungsu yang lemah.
Aku bahkan tidak pernah mengambil keputusan tentang apa pun. Semua sudah rampung oleh Kak Arda dan Bang Ardi. Menyenangkan, bukan? Bagai ratu di rumah, semua keperluanku tersedia.
Aku juga tak diberi kebebasan memilih. Memilih sekolah, memilih jurusan, apalagi memilih teman dekat. Hingga pada akhirnya aku menemukan Maro. Teman sekantorku. Pria lajang berkulit putih yang begitu perhatian padaku. Aku tidak mengatakan kakak dan abangku tidak memberiku perhatian, tetapi perhatian dari Maro 'berbeda'.
Saking berbedanya, tidak ada satu pun hal yang bisa menjadi unggulan pria itu. Tidak ada! Di mata mereka, pria yang baru mengantarku itu tidak baik untukku. Tidak tepat mendampingiku.
*
        "Sampai kapan Kakak selalu mengatur hidupku? Aku tuh udah gede!" bantahku malam itu. Aku marah. Aku kesal setelah Kak Arda menolak lamaran Maro untukku.
        "Gede? Kalau memang kamu udah gede, pikiran kamu gak begini!" ucap Kak Arda.
        "Pikiranku yang mana yang salah sih, Kak?" Aku bingung. Entah bagian mana dari Maro yang membuat kedua saudaraku itu sepakat menolak lamaran Maro.
        "Kalian itu berbeda." Kali ini Bang Ardi yang bicara.
        "A-apanya yang beda? Di laki aku perempuan. Ya jelas bedalah!" Aku mencoba berkelakar.
        "Tuhan kalian yang beda!"
        Semua terdiam. Aku ingin protes, tapi mulutku terkunci. Aku bangkit berdiri, lalu keluar rumah tanpa mengucap salam. Biar saja mereka tahu, aku sedang marah!
        Sepanjang trotoar, kepingan ingatan bersama Maro kembali muncul. Juga tentang kekhawatirannya. Pria humoris itu mendadak bicara serius.
        "Apa kamu kuat menghadapi perbedaan kita, Dik?" tanya Maro.
        Aku tidak menjawab. Kubiarkan telingaku menunggu kalimat lanjutannya. Tentang segala kemungkinan untuk bersatu. Dan menjadi sama.
        "Kupikir Adik juga sepertiku, akan bertahan. Kita sama-sama bertahan."
        Langkahku melambat seiring suara azan dari masjid di seberang jalan. Dan dalam waktu bersamaan, aku mendengar lonceng gereja di seberang yang lain. Mataku menatap kedua kubah bergantian. Dua kubah yang berbeda, tegak berdiri di hadapanku.
        Aku mendengar seseorang berkata lirih tepat di sampingku.
        "Dua kubah itu, meski berbeda, namun berdampingan. Seperti kita."
       Â
Airmolek, 10 Maret 2022
Diikutkan event PSCSM_1
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H