Saking berbedanya, tidak ada satu pun hal yang bisa menjadi unggulan pria itu. Tidak ada! Di mata mereka, pria yang baru mengantarku itu tidak baik untukku. Tidak tepat mendampingiku.
*
        "Sampai kapan Kakak selalu mengatur hidupku? Aku tuh udah gede!" bantahku malam itu. Aku marah. Aku kesal setelah Kak Arda menolak lamaran Maro untukku.
        "Gede? Kalau memang kamu udah gede, pikiran kamu gak begini!" ucap Kak Arda.
        "Pikiranku yang mana yang salah sih, Kak?" Aku bingung. Entah bagian mana dari Maro yang membuat kedua saudaraku itu sepakat menolak lamaran Maro.
        "Kalian itu berbeda." Kali ini Bang Ardi yang bicara.
        "A-apanya yang beda? Di laki aku perempuan. Ya jelas bedalah!" Aku mencoba berkelakar.
        "Tuhan kalian yang beda!"
        Semua terdiam. Aku ingin protes, tapi mulutku terkunci. Aku bangkit berdiri, lalu keluar rumah tanpa mengucap salam. Biar saja mereka tahu, aku sedang marah!
        Sepanjang trotoar, kepingan ingatan bersama Maro kembali muncul. Juga tentang kekhawatirannya. Pria humoris itu mendadak bicara serius.
        "Apa kamu kuat menghadapi perbedaan kita, Dik?" tanya Maro.