Mohon tunggu...
Elga Cadistira
Elga Cadistira Mohon Tunggu... Novelis - Penulis

Novel Tamat: Thyria The Last Vampire. The Silver Queen. Beast and Lady Knight. Devil Blood. Find You After 1000 Years. Ghoul Hunter. Obsesi Jantan Sang Guru Tampan. Pembalasan Sang Istri. Novel Ongoing cek di wattpad @elgacadistira

Selanjutnya

Tutup

Roman Pilihan

Vampir Terakhir di Abad Pertengahan Akhir

10 Agustus 2023   18:26 Diperbarui: 10 Agustus 2023   18:57 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Haus. Tenggorokannya terasa terbakar. Ia butuh minum. Namun bukan air yang ia inginkan. 

Thyria butuh sesuatu yang panas dan manis. Sesuatu berwarna merah dan mengalir segar di dalam tubuh manusia. Sayangnya dia tidak mendapati benda itu di lemari ataupun tempat penyimpanan rahasianya di rumahnya. Semua itu kosong. 

Biasanya ayah tidak pernah lupa absen untuk mengisi stoknya di rumah, khusus hanya untuk dirinya seorang. Tapi malam ini, waktu yang sangat tidak diharapkan, Thyria lapar, sudah begitu ayahnya sedang pergi ke luar kota sejak kemarin. Dia tidak mungkin meminta bantuan. Malah akan ditangkap dan dibunuh oleh mereka.

Thyria sudah berusaha mencari ke seluruh sudut rumah dan tetap tidak menemukan kantong plastik itu. Maka tidak ada pilihan lagi baginya ketika membuka jendela kamar lantai dua lalu naik dan melompat keluar. Thyria pergi mengikuti instingnya. 

Pergi mencari makanan untuk mengenyangkan perut dan tentunya mengembalikan akal sehatnya nanti. Thyria harap aksi malam ini akan lolos selamat. Walau khawatir, tapi rasa lapar mengalahkan kekhawatirannya akan ketahuan. Dia pergi ke kota, melesat sangat lincah melewati semua seperti bayangan.

"Kue~ aku mencium aroma kue yang sangat manis!" Thyria berlari seperti orang kelaparan. Dan yah dia memang sedang kelaparan.

Dia masuk ke gang, meliuk lihai menyusuri belokan jalan sempit itu. Kemudian menemukan seseorang yang berjalan sendirian. Orang itu kelihatan sedang mabuk sambil membawa-bawa botol alkohol.

Tanpa segan lagi Thyria menyerangnya dari belakang. Perlawanan dari orang itu sedikit menimbulkan kegaduhan sampai tumpukan pipa di dekatnya berjatuhan. Namun, Thyria tidak melepaskannya, dan dia dengan cepat mengigit leher orang itu dengan kuat. Menyedot darahnya dengan rakus.

Suara barusan terdengar sampai ke luar gang lalu menarik perhatian polisi yang sedang berpatroli di area sekitar. Tidak hanya satu polisi, ditemani dua rekannya, mereka berbondong-bondong masuk ke jalan gang.

"Siapa di sana!" seru polisi itu. Gelapnya gang itu membuat pandangan mereka hanya dapat melihat bayangan yang bergerak. 

Thyria belum puas meminum darah orang ini ketika kedatangan mereka memaksanya untuk kabur. Lantas dia melepaskan mangsanya kemudian berlari secepat kilat di dalam kegelapan. Polisi mengejarnya sesaat sebelum mereka kehilangan jejaknya yang kabur begitu cepat.

Satu-satunya tujuan Thyria setelah ini adalah dengan kembali ke rumah. Thyria masuk melalui jendela yang sama saat dia melompat keluar. Kemudian dia menutup jendelanya dengan rapat seraya menguncinya. 

Kejadian barusan membuatnya syok. Thyria terduduk lemas. Seluruh tubuhnya gemetar karena trauma akan pengalaman yang lalu. Dulu, saat pertama kalinya menyerang manusia, dia dikepung dan hampir tertangkap sebelum berhasil melarikan diri. Beruntung rambut panjangnya menghalau wajahnya, sehingga mereka tidak mengetahui bagaimana rupanya.

Thyria memeluk tubuhnya. Tenggorokannya masih terasa kering. Dia belum sempat menghisap darah orang itu sampai puas. Alhasil kini dia terkurung di rumahnya sambil menahan hasrat haus yang belum stabil.

Tiba-tiba suara pintu terbuka terdengar di tengah keheningan rumah, diikuti dengan suara langkah kaki. Thyria diam membeku hanya untuk menebak siapa yang memasuki rumahnya. Apakah maling?

Tetapi kemudian bau yang tercium dari seseorang itu sangat Thyria kenal. Perlahan ketegangan di bahunya menjadi rileks. Thyria tahu siapa yang datang. Hingga pintu kamarnya dibuka dari luar, dan sepasang kaki pria mematung di ambang pintu.

"Thyria," ucap suara bariton pria itu. Ekspresi wajahnya terlihat terkejut saat melihat Thyria duduk meringkuk di lantai.

Pria bernama Lancer itu lantas melangkah mendekat. Dia meletakkan koper tangannya di lantai.

Lancer berlutut. "Tidak apa-apa. Aku ada di sini," ucap pria itu. Dia meraih lengan Thyria dan mengangkat dagunya agar mata gadis ini menatapnya. Thyria tidak menolak. Sehingga Lancer dapat melihat sepasang iris merah mata Thyria. Seperti rubby yang menawan, siapapun yang melihatnya pasti akan berdecak kagum. 

Wajah pucat dan bibir merah yang bergetar, Lancer tahu kondisi gadis ini meskipun tidak mengadu. "Aku akan memberikan darahku untukmu," ujar Lancer sembari menarik Thyria ke pelukan. Dia mendekapnya dengan hangat, yang membuat wajah Thyria menempel pada pundaknya yang lebar.

Aroma darah Lancer seketika tercium kuat. Itu bagaikan heroin yang membuat manusia melayang dan ketagihan. Thyria berusaha keras mempertahankan sisi manusianya agar tidak melukai leher pria ini. Namun semakin dia menahan diri, semakin membuat insting buasnya mengalahkan kewarasannya lalu hilang kendali. Thyria membuka mulutnya lebar dan sepasang taring mengilap dibawah sinar rembulan dari jendela.

Lancer sengaja memberikan lehernya, memberikan darahnya pada Thyria. Pria ini menunggu dengan sabar untuk merasakan tusukan kecil yang akan melubangi lehernya. "Jangan ragu-ragu," tegur Lancer. Dia menekan tengkuk Thyria dengan sedikit tenaga.

Maka pada detik berikutnya taring Thyria menembus kulit lehernya secara perlahan. Kedua mata Lancer terpejam dengan tenang saat merasakan darahnya disedot keluar. Ini adalah pertama kali bagi mereka berdua. Jauh sebelumnya Thyria tidak pernah menggigitnya dan mengambil darahnya. 

Tetapi malam ini pertahanan Thyria terlepas. Padahal di dalam pikirannya sudah tertanam kuat untuk tidak sedikit pun menghisap darah keluarganya sendiri. Thyria akui, janji itu telah dilanggar. Sebuah perasaan bersalah dan menyiksa ini membuat air matanya meleleh. Dia menghisap darah Lancer sambil menangis tanpa suara.

Lancer mengelus rambut belakangnya dengan lembut. Itu dia lakukan sebagai isyarat bahwa dirinya baik-baik saja, jadi Thyria tidak perlu khawatir padanya. Walau sesungguhnya darah yang disedot keluar dari tubuh, membuat kesadaran Lancer mulai berkunang-kunang seperti orang anemia.

Tidak masalah, mau sebanyak apapun darah yang Thyria ambil darinya, Lancer telah bersedia dengan suka rela.

Setelah puas beberapa saat, Thyria menjauhkan wajahnya dan melepas taringnya dari leher Lancer. Lalu pria itu membuka matanya. Akibat kekurangan darah, wajah Thyria terlihat buram di pandangannya. Namun hanya sejenak, sebelum kemudian Lancer melihat ekspresi sedih gadis ini. 

"Oh Thyria," lirih Lancer terkejut mendapatinya menangis. Lalu dia mengusap air mata Thyria di pipi dengan pelan. "Kenapa kau menangis?" Lancer bertanya dengan suara yang lembut. 

Thyria menunduk, menyembunyikan matanya yang berkaca-kaca. Lantai di bawah lututnya menjadi pemandangannya saat ini. Dia tidak mau menunjukkan wajah sedih ini di hadapan Lancer. Kepalanya hanya menggeleng ketika mendengar pertanyaan itu.

Tapi kemudian jemari Lancer menyentuh rahangnya. Membuat Thyria kembali menatap pria ini dengan jejak air mata membasahi wajah. 

"Buruk sekali," ucap Lancer mengomentari. "Air mata ini tidak cocok dengan wajah cantikmu. Ayo ikuti aku tersenyum seperti ini," kata pria itu menunjukkan bagaimana dia tersenyum dengan ceria.

Thyria menatapnya. Melihat ketulusan Lancer yang berusaha agar dirinya kembali ceria, membuat hati Thyria terenyuh. Dia beruntung memiliki seorang saudara seperti pria ini. Rasa syukur yang tak terkira ini berhasil menarik kedua sudut bibirnya membentuk kurva. Thyria tersenyum, sedikit dipaksakan.

"Nah, begitu. Senyum ini terlihat cocok untukmu," kata Lancer senang.

 "Aku mengantuk sekali, aku akan istirahat sebentar." Tiba-tiba suara pria itu terdengar lemah seiring dengan tubuhnya yang ambruk, dan Thyria sigap menopangnya.

Suasana hening menyelimuti mereka berdua. Thyria memeluk Lancer dengan hangat. "Terima kasih, tapi maafkan aku, kak." Thyria terharu. Lancer, kakaknya yang berharga, telah rela memberikan darahnya sampai jatuh pingsan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun