Mohon tunggu...
Rindu Aprilia
Rindu Aprilia Mohon Tunggu... Guru - Pecandu rindu

Mengenang keusangan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Komentar Ayah, Soal Bekerja

22 Desember 2018   10:13 Diperbarui: 22 Desember 2018   10:21 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Malam kemarin, langit terang. Banyak bintang indah bertebaran. Jumlahnya tak banyak, hanya saja, mampu membuat mata terpesona, lalu dengan spontan, mulut berkomentar "MasyaAllah", akan fenomena indah anugerah Tuhan itu. 

Cuaca di luar biasa, tidak begitu panas, tidak pula dingin, meskipun jika berbicara keharusan, harusnya ia dingin, sebab masih waktunya musim penghujan, sehingga aroma-aroma petrichor menyengat di hidung. 

Seperti apapun cuaca, tubuhku harus kugerakkan untuk keluar, sementara tanganku, harus kupaksakan untuk mengetik undangan secara online sebagai pertanda rapat benar-benar diadakan. 

"Assalamu'alaikum. Berhubung akan diadakannya acara sekorcam, maka kami ............... "

Usai mengundang, aku bersiap-siap, tak sabar rasanya rapat, lalu kembali ke kasur. Entahlah, bagaimanapun, sudah sebulanan hidupku tdak teratur. Usai shubuh, dengan sengaja berbaring hingga terlelap, lalu bekerja, kemudian terlelap. Ah, memang unfaedah. 

Dengan sedikit malas, kulangkahkan kakiku menuju motor putih yang sudah menemaniku selama dua bulan itu. Tak lama lagi, ia akan pergi, dibawa oleh empunya. Ah. Yah, aku terbiasa dengan ontelku yang sudah menemani tiga tahun perjalananku. Bukan tanpa sejarah. Banyak hal yang terjadi dengannya. Ada tawa, ada luka, ada tangis, ada tawa. Begitulah ia yang penuh dengan warna. 

Kupacu kecepatan motorku dengan ecepatan tinggi. Maklum, aku takut sampai terlambat, sebab bagiku, sedetik, tetap saja dihitung sebagai terlambat, dan itu adalah sebuah kedzhaliman. 

Kupilih parkir yang mudah untuk dikeluarkan.  

"Assalamu'alaikum", sapaku ramah kepada beberapa pengurus PH BPH. Sambil menyunggingkan seutas senyum dan menyalami yang putri. 

Kupilih tempat duduk seadanya. Sebab memang suasananya terlampau ramai. 

Tak berapa lama, ketika satu persatu hadir, rapat dimulai. AKu sibuk mencatat semua masukan yang hadir, semua poin yang penting, sambil sesekali ikut tertawa dan menambahkan. 

Istimewa memang mereka. Aku mengenal mereka belum lama, bahkan bertemupun hanya  ketika rapat yang baru saja diadakan tiga kali ditambah dengan tadi malam. Namun, melihat mereka, ada nyawa yang kembali hadir, meskipun saat hendak melangkahkan kaki, kakiku sempat gontai. Ah. Itu memang kebiasaanku. Yah, kebiasaan buruk lah. 

Pembahasan demi pembahasan dibahas tuntas. Sesekali aku membalas whats'App yang masuk, adapula telpon dari kakak tingkatku yang hendak mengantarkan roti bakar, 

"Dek dimana?"

"Di kostkan?"

"Kakak mau nganterin roti bakar",

katanya usai telponnya yang tidak kuangkat. 

Kubalas, dan kukatakan bahwa aku sedang tida di kost. Ia menawariku untuk mampir. Baiklah, sekalian silaturrahmi. 

Sampai akhirnya, ghibah hadir di tengah pertemuan kami. Ah, disebut ghibah atau tidak sebenarnya akupun sedikit pusing, sebab jika tidak dibicarakan, maka akan merepotkan sie acara, sebab yang dibicarakan berada di lingkaran mereka. 

Aku hanya ikut tertawa tanpa berkomentar. Kulihat mereka tertawa ikhlas sekali. Ah, manusia. Tak berapa lama, ada telpon masuk dengan nama "Mak". Yah, emakku sedang menelpon. 

"Izin ya, Orangtuaku nelpon", kataku kepada mereka. 

Aku langsung menuju ke tempat yang tidak jauh dari tempat kami berkumpul. Ada dua kursi dengan satu meja kososng di sana. 

Kudapati, jika yang menelpon adalah ayah. biasanya, pastilah ibu. 

Kami ngobrol banyak, sampai ayah menyadari sesuatu, bahwa tempat itu terlalu ramai, 

"Dimana? Kok kayaknya ramai sekali?", tanya ayah selidik. 

"Lagi kumpul kkn yah. Iyalah ramai, banyak orang", 

ayah dan ibuku, paling tidak pernah mau mengganggu sama sekali pertemuanku dengan temanku. Ayah langsung hendak memutuskan telpon, 

"Yaudahlah kalau lagi rapat", ah, ayah tidak tahu, jika aku sedang rindu, 

"Nggak kok. Orang lagi istirahat yah", kataku berbohong demi bisa berbincang-bincang lagi dengannya. 

Begitulah mereka. Masih mending ayah, masih mau melanjutkan telpon. Jika ibu, pasti tidak mau. Bahkan, jika ibu sedang menelpon, kebetulan ada temnaku yang datang, pasti ibu langsung bilang, 

"Udah lah ya. Tamumu jangan dicuekin", meskipun baru beberapa detik menelpon. Ah. Sungguh, akhlak mereka memang selalu menjadi contoh. 

tiba-tiba, ayah bertanya soal sesuatu yang belum kuceritakan padanya, namun sudah kuceritakan kepada ibu, 

"Dengar-dengar, kata  mak, nggak mau lanjut lagi kerjanya?" tanyanya. 

"Ya ampun yah. Motornya bentar lagi yang punya dateng. Ongkos ngegojek aja sebulannya udah tiga setengah, sementara gaji lima ratus. Belum lagi buat beli paket, udah habis duluan", kataku sambil mengeluh. 

"Nak, nak. Bekerja itu, jangan hanya menghitung soal gaji nak. Bukan hanya gaji yang kita cari ketika bekerja. Tapi hitunglah pengalamannya, dan carilah berkahnya. Jangan gunakan matematika kita, tapi biarkan matematika Allah yang bekerja", katanya dengan lembut. 

Luluh sudah hatiku, sebab selama ini, aku hanya menghitung gaji, dan berkahnya tanpa menghitung pengalaman yang akan kudapatkan. 

~Semoga Allah melinndungi ayah-ayah dan ibu-ibu kita, memberikan ketabahan bagi keduanya, dan memberikan kesehatan. 

Jogja. Rindu. 22 Desember 2018.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun