Istimewa memang mereka. Aku mengenal mereka belum lama, bahkan bertemupun hanya  ketika rapat yang baru saja diadakan tiga kali ditambah dengan tadi malam. Namun, melihat mereka, ada nyawa yang kembali hadir, meskipun saat hendak melangkahkan kaki, kakiku sempat gontai. Ah. Itu memang kebiasaanku. Yah, kebiasaan buruk lah.Â
Pembahasan demi pembahasan dibahas tuntas. Sesekali aku membalas whats'App yang masuk, adapula telpon dari kakak tingkatku yang hendak mengantarkan roti bakar,Â
"Dek dimana?"
"Di kostkan?"
"Kakak mau nganterin roti bakar",
katanya usai telponnya yang tidak kuangkat.Â
Kubalas, dan kukatakan bahwa aku sedang tida di kost. Ia menawariku untuk mampir. Baiklah, sekalian silaturrahmi.Â
Sampai akhirnya, ghibah hadir di tengah pertemuan kami. Ah, disebut ghibah atau tidak sebenarnya akupun sedikit pusing, sebab jika tidak dibicarakan, maka akan merepotkan sie acara, sebab yang dibicarakan berada di lingkaran mereka.Â
Aku hanya ikut tertawa tanpa berkomentar. Kulihat mereka tertawa ikhlas sekali. Ah, manusia. Tak berapa lama, ada telpon masuk dengan nama "Mak". Yah, emakku sedang menelpon.Â
"Izin ya, Orangtuaku nelpon", kataku kepada mereka.Â
Aku langsung menuju ke tempat yang tidak jauh dari tempat kami berkumpul. Ada dua kursi dengan satu meja kososng di sana.Â