Brakkk!
Suara keras pintu dibanting mengagetkan Insyira yang sedang mengelap gelas basah di dapur. Kaca jendela yang menghadap ke taman belakang rumah sampai ikut bergetar. Ia tinggalkan kain lap dan gelasnya, lalu menuju sumber suara. Benar dugaannya, Si Remaja baru saja pulang sekolah. Dalam keadaan kesal sepertinya. Pintu tak berdosa sudah jadi pelampiasan.
Dilihatnya anak berseragam putih-biru itu membanting tas sekolah yang penuh berisi buku pelajaran ke lantai. Botol minum setengah kosong terpuntal dari kantong samping tas, menggelinding hingga ke kolong sofa, baru berhenti setelah menabrak dinding. Menilai dari kekuatan bantingan anak perempuan itu, untung saja botol plastik itu tidak pecah.
Diamati Insyira, emosi anak gadis sedang meluap. Terlihat dari caranya merenggut langsung hijab dari kepala, tanpa melepaskan penitinya terlebih dahulu. Lagi-lagi, sebuah benda tak berdosa jadi korban, dibanting ke lantai. Lalu, anak perempuan itu menghempaskan diri ke sofa. Tangannya sedekap di dada. Nafasnya mendengus-dengus. Pipi gembilnya merah padam. Rambutnya awut-awutan.
Sebenarnya Insyira ingin tersenyum. Nafsu amarah yang meluap-luap memang membuat orang terlihat jenaka. Sungguh jauh dari kesan menyeramkan atau mengancam, apalagi wibawa. Tapi Insyira mengerti, jika ia tertawa, amarah putrinya pasti akan menjadi-jadi. Sehingga ia memilih untuk menutupi kegeliannya, dan menampakkan ketenangan. Bukankah semua orang begitu, ketika menghadapi orang yang dirundung marah?
Dengan wajah dihiasi senyuman, Insyira mendekati anak perempuannya. “Assalamualaikum, Gemi. Selamat datang di rumah. Bagaimana sekolah hari ini?” tanya Insyira sambil memungut kain penutup kepala berwarna putih dari lantai.
“Kesal, Bun!” jawab Gemi dengan suara lantang menghentak-hentak.
“Hmmmm. Terlihat, sih. Memangnya kenapa? Mau cerita dulu atau makan dulu?” lanjut Insyira dengan suara lemah lembut.
“Mana ada rasa lapar kalau lagi kesal begini!” Gemi masih emosi.
“Iya juga, ya. Kalau begitu, mau cerita dulu?” Insyira lalu duduk di samping Gemi, melipat kerudung putih di pangkuannya lambat-lambat. Menunggu gejolak hati anak perempuan itu agak mereda untuk bercerita.
“Aku kesal karena di-bully terus. Selalu ada saja kata-kata ejekan baru untukku. Berganti-ganti. Ngga berhenti-berhenti. Kesal!” suara Gemi masih saja lantang dan meledak-ledak.