Mohon tunggu...
Rinda Aunillah Sirait
Rinda Aunillah Sirait Mohon Tunggu... Dosen - Penikmat Alam

Pemerhati satwa liar, penyiaran dan etika media massa. Kumpulan tulisan yang tidak dipublikasikan melalui media cetak.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Selamatkan Kakatua!

16 September 2018   19:41 Diperbarui: 16 September 2018   20:16 660
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Burung Kakatua

Hinggap di jendela

Nenek sudah tua

Giginya tinggal dua

Rasanya nyaris tak ada anak Indonesia yang merasa asing terhadap lagu ini. Lagu legendaris ini menjadi salah satu pengiring orangtua mengasuh anak. Tak jarang berkat lagu, kakatua menjadi salah satu satwa yang diperkenalkan kepada anak sejak dini. Sayang, popularitas lagu ini tak mampu menyelamatkan burung kakatua dari perburuan, perdagangan dan eksploitasi yang terus mengancam.

Menurut data LSM Burung Indonesia sekitar tujuh dari 21 spesies kakaktua berasal dari Indonesia, semua jenis diperdagangkan secara ilegal. Hampir separuh kakatua mati saat diselundupkan. Kondisi ini menyebabkan tiga jenis kakatua asli Indonesia terancam punah, bahkan kakatua kecil jambul kuning (Cacatua sulphurea) berada dalam status kritis.

Kondisi ini menjadi pertimbangan sejumlah aktivis pemerhati satwa menempatkan 16 September sebagai Hari Kakatua Indonesia. Sebuah momentum khusus agar publik melirik nasib kakatua di Indonesia dan bergerak untuk melindunginya.

Kakatua termasuk bangsa burung paruh bengkok, burung jenis ini memiliki beberapa varian spesies. Burung kakatua hanya bisa dijumpai di beberapa tempat di Filipina, Indonesia, Papua Nugini, Kepulauan Solomon dan Australia. Di Indonesia burung kakatua hanya bisa ditemui di bagian timur garis weber meliputi Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku dan Papua.

Keindahan bulu, suara yang khas bahkan kecerdasan kakatua seringkali menjadi alasan sejumlah orang memelihara dan mempertontonkan burung ini. Sejumlah objek wisata, hotel, pusat perbelanjaan sampai rumah pribadi kerap menampilkan kakatua sebagai pemanis.

Sejak lama Kakatua memang menjadi incaran kolektor satwa berstatus ekonomi menengah ke atas karena harganya yang menjulang. Keberadaan kakatua seolah dianggap mendongkrak prestise sang pemilik, sejumlah oknum aparat sipil dan militer pun kerap tergiur memeliharanya.

Sarat Kekejaman

Keunggulan kakatua seakan membawa petaka. Di balik keindahan dan hiburan yang disajikan, sejatinya burung ini mendapat perlakuan kejam. Dicerabut paksa melalui perburuan di habitatnya; diselundupkan dalam botol, pipa paralon dan rompi dada tanpa mengindahkan keselamatannya; dipaksa bertahan berhari-hari dalam perjalanan menuju tujuan penyelundupan tanpa pendukung hidup memadai; dan berakhir dengan dipaksa mengubah perilaku alamiah.

Para pemburu kerap menjerat kakatua menggunakan getah yang ditempelkan di dahan pohon. Setelah menempelkan getah, pemburu biasanya meninggalkan lokasi perburuan dan baru kembali setidaknya keesokan hari. Kakatua yang terjerat harus bertahan selama berhari-hari tanpa makan sehingga seringkali mati kelaparan.

Nasib yang selamat tak kalah mengenaskan, getah yang menjerat kerap kali menempel sangat kuat sehingga pemburu perlu membersihkan secara paksa bahkan bila perlu mencabut bulunya.

Proses perniagaan kakatua pun tergolong sadis. Pada Mei 2015 publik sempat heboh saat 24 kakatua jambul kuning gagal diselundupkan ke Surabaya melalui Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Polisi dari Polres Pelabuhan Tanjungperak Surabaya mencurigai pelaku yang baru turun dari kapal KM Tidar jurusan Papua-Makassar-Surabaya-Jakarta.

Terungkapnya penyelundupan ini menjadi buah bibir di dunia maya. Kakatua disekap dalam botol-botol minum dengan keadaan yang menyedihkan---bahkan, tujuh ekor kakatua menemui ajal di kapal, lalu lima ekor lainnya mati di kandang transit sebelum sempat diselamatkan oleh petugas yang berwenang. (sumber: mongabay.co.id & nationalgeographic.co.id)

Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, menurut catatan Profauna, merupakan salah satu jalur penting dalam rantai perdagangan burung kakatua dan nuri asal Papua dan Maluku Utara. Sebagian besar burung yang diselundupkan dari Indonesia timur ke Jawa, melewati pelabuhan Tanjung Perak yang kemudian didistribusikan ke jaringan perdagangan satwa di Surabaya, Malang, Jember, Yogyakarta, Bandung dan Jakarta.

Penyelundupan yang sarat kekejaman semacam itu rawan mengakibatkan satwa mati. Profauna memperkirakan 40% satwa yang diperdagangkan dengan metode pengangkutan seperti itu pada akhirnya mati.

Lolos dari kekejaman penyelundupan, kakatua mengalami kekejaman lain. Sebagai satwa yang hidup berkelompok di habitatnya, kakatua dipaksa hidup sendiri di kediaman kolektor. Hidup sendiri menjadi sebuah siksaan yang harus dijalani sampai mati.

Perlakuan terhadap kakatua koleksi sirkus satwa atau objek wisata tak kalah sadis. Satwa cerdas ini dilatih berbicara, berhitung bahkan mengendarai sepeda dengan menggunakan teknik lapar. Kakatua dibiarkan lapar sebelum dilatih. Setiap keberhasilan mengikuti gerakan atau ucapan yang dijarkan diganjar makanan yang diberikan sedikit demi sedikit.

Jangan Pelihara

Sebenarnya pemerintah telah berupaya melindungi kakatua dengan melampirkan empat jenis kakatua dalam Lampiran Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) No.20/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Dilindungi.

Dalam lampiran Permen tersebut tercantum kakatua putih besar jambul kuning (Cacatua galerita), kakatua goffin (Cacatua goffini), kakatua Seram (Cacatua moluccensis), kakatua kecil jambul kuning (Cacatua sulphurea) sebagai satwa liar dilindungi.

Merosotnya populasi kakatua putih besar jambul putih (Cacatua alba) dengan kakatua raja (Probosciger atterimus) akibat maraknya perburuan membuat kedua spesies tengah dikaji statusnya sebagai satwa liar dilindungi dalam Permen 20/2018.

Keberadaan kakatua sebagai satwa liar dilindungi berdampak pada larangan perlakuan secara tidak wajar terhadap satwa yang dilindungi sesuai Pasal 21 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. UU ini melarang perburuan, perniagaan dan kepemilikan satwa dilindungi secara ilegal. Dalam Pasal 40 ayat [2] UU No. 5/1990, sanksi pidana bagi orang yang sengaja melakukan pelanggaran adalah pidana penjara maksimal lima tahun dan denda paling banyak Rp100 juta.

Jangan memelihara kakatua merupakan solusi ampuh untuk memotong rangkaian kekejaman terhadap burung cantik ini. Rendahnya permintaan kakatua di pasaran, menyebabkan penjual satwa berpikir ulang untuk memasarkan.

Ini pasti menekan angka perburuan kakatua di habitatnya. Kesadaran tidak memelihara bukan hanya datang dari orang yang telanjur menjadi kolektor, namun juga perlu muncul dari masyarakat luas dan media massa.

Partisipasi masyarakat melaporkan kolektor kakatua ke aparat berwenang (Badan Konservasi Sumber Daya Alam/BKSDA setempat) bisa membantu menyelamatkan satwa ini. Salah satu contoh protes keras sejumlah aktivis perlindungan satwa dan penonton yang kritis saat program siaran "Janji Suci" menayangkan sejumlah satwa dilindungi koleksi sepupu artis Raffi Ahmad di Bandung salah satu TV nasional pada April 2017 berbuah manis. 

Hasilnya, sebanyak 11 ekor satwa, termasuk  1 ekor Kakatua Maluku (Cacatua moluccensis), 1 ekor kakatua kecil jambul kuning (Cacatua sulphurea), dan sepasang kakatua Putih Besar Jambul Kuning (Cacatua galerita) berhasil diamankan petugas melalui penyerahan sukarela sang kolektor.

Kepedulian media massa pun penting. Meski sempat terpeleset pada September 2016 Program Kelas Internasional di Net TV menayangkan seekor kakatua jambul kuning sebagai satwa peliharaan. Net TV kemudian menayangkan episode penyerahan sang kakatua ke BKSDA setempat, sebuah langkah yang patut diapresiasi.

Pertanyaan menggelitik perlu diajukan sebagai bahan renungan. Zalimkah kita, manusia dengan segala atribut jabatan, kekayaan dan kekuasaan, menikmati makhluk Tuhan yang tersiksa sebagai sebuah hiburan? Siapakah kita, seolah berhak mengubah kodrat yang Tuhan gariskan pada makhluk lain sekedar untuk diberi komentar lucu, imut dan menggemaskan?***

Artikel Opini ini pernah dimuat di HU Pikiran Rakyat, 16 September 2017 untuk memperingati Hari Kakatua Indonesia,  penulis melakukan revisi sedikit terutama terkait aturan terbaru. SELAMAT HARI KAKATUA INDONESIA!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun