Mohon tunggu...
Rindani Dwihapsari
Rindani Dwihapsari Mohon Tunggu... Human Resources - Penuntut Ilmu Sejati.

Focus on learning and sharing

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Gadai Emas Syariah Bukan Produk Investasi?

1 April 2020   16:00 Diperbarui: 1 April 2020   18:52 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Islam adalah agama Allah yang telah memberikan tatanan yang sempurna bagi kehidupan manusia, baik kehidupan di dunia maupun di akhirat. 

Perekonomian merupakan bagian dari kehidupan manusia, maka tentulah hal ini dijelaskan dari sumber yang mutlak, Al-Quran dan As-sunnah, yang menjadi panduan dalam menjalani kehidupan. Kedudukan sumber yang mutlak ini menjadikan Islam sebagai suatu agama yang istimewa dibandingkan dengan agama lain.

Keistimewaan tersebut menjadikan eksistensi lembaga keuangan syariah menempati posisi yang strategis, dan bicara mengenai lembaga keuangan tidak akan terlepas dari perannya sebagai intermediasi (perantara) bagi pemenuhan ekonomi masyarakat. 

Pemenuhan akan kebutuhan dan keinginan baik secara individu maupun kelompok suatu masyarakat. Kehadiran lembaga keuangan syariah di Indonesia, merupakan sebuah kebutuhan bagi umat Islam di Indonesia, untuk memastikan transaksi keuangan mereka berdasarkan syariah.

Dalam melihat realitas sosial di masyarakat, salah satu yang menjadi tulang punggung perekonomian negara Indonesia ini adalah Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM), dan melakukan pemberdayaan UMKM ini menjadi sangat penting untuk memajukan pertumbuhan perekonomian. 

Sebagaimana pertumbuhan perekonomian suatu negara merupakan salah satu indikator meningkatnya kesejahteraan suatu bangsa. Perkembangan UMKM mampu memperluas basis ekonomi dan memberikan kontribusi yang signifikan, yaitu meningkatnya perekonomian daerah dan ketahanan ekonomi nasional. 

Adapun dalam mengembangkan UMKM ini tidak terlepas dari masalah. Data BPS menunjukkan 35.10% UMKM menyatakan kesulitan dalam permodalan. Sehingga dalam mempertahankan usaha-usaha tersebut, kerap ditemukan kondisi masyarakat yang memiliki harta dalam bentuk selain uang tunai dan pada saat yang bersamaan yang bersangkutan mengalami kesulitan likuiditas hingga membutuhkan dana dalam bentuk tunai. 

Sehingga pilihan transaksi yang sering digunakan oleh masyarakat dalam menghadapi masalah ini adalah menggadaikan barang-barang yang berharga milik mereka.

Berangkat dari hal tersebut, lembaga pegadaian hadir di Indonesia dan menunjukkan tren peningkatan dari waktu ke waktu. Hal ini ditandai dengan jumlah dana yang disalurkan oleh PT. Pegadaian kepada pelanggan untuk pembiayaan jangka pendek untuk usaha mikro dan kecil dan menengah. 

Pegadaian syariah menurut Fatwa MUI No.25/DSN-MUI/III/2002 adalah lembaga keuangan dengan berpegang pada sistem gadai yang didasarkan pada prinsip dan nilai-nilai Islam. 

Dasar hukum untuk pendirian Pegadaian Syariah adalah PP No.103 tanggal 10 November 2000 dan Fatwa DSN No.25/DSN/MUI/III/2002 tentang Rahn. Adapun menurut Antonio, Pegadaian Syariah adalah lembaga yang menampung kegiatan gadai syariah (rahn) dimana salah satu pihak memegang salah satu asset peminjam yang ia terima.

Jika melihat dari sisi lainnya, pada tulisan ini penulis tidak ingin berfokus kepada hukum dari gadai sendiri, mengingat sudah tertera secara jelas hukum mengenai legalnya praktek gadai syariah. Namun penulis ingin melihat esensi dari praktek gadai syariah terkhusus yang selama ini sudah berjalan di Indonesia yaitu gadai emas syariah.

Kenapa? Mari kita simak beberapa penjelasan berikut ini.

Dalam perkembangannya, masih harus diakui bahwa gadai saat ini digunakan untuk konsumsi. Jumlah persentase untuk hal konsumtif masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan gadai untuk produktif. 

Hal ini juga didukung dengan meningkatnya jumlah gadai emas syariah, praktek ini pada awalnya diperkenalkan oleh Bank Jabar Banten Syariah (BPJS) di tahun 2004. 

Disusul oleh Bank Rakyat Indonesia Syariah (BRIS) yang secara signifikan mengalami peningkatan sebesar 100% sejak bisnis gadai emas syariah diluncurkan di 2009. Dan begitupun dengan bank syariah lainnya yang mengimplementasikan praktek ini.

Namun demikian, pesatnya perkembangan gadai emas syariah menimbulkan kegelisahan di kalangan analisis para perbankan, gadai emas berpotensi menurunkan fungsi dan peran perbankan syariah sebagai sebuah mediator atau perantara, khususnya dalam pembiayaan perusahaan pada sector ril. 

Bank Indonesia selaku regulator pun memberikan himbauan kepada pegadaian agar tidak mendominasi keuangan di perbankan syariah. Kegelisahan ini akhirnya yang melatarbelakangi Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) No:14/7/DPBS, tertanggal 29 Februari 2012, terkait produk gadai emas oleh Bank Syariah dan Unit Bisnis Syariah. 

Hal ini muncul karena gadai emas syariah harus melekat dengan esensi dari prinsip syariah, yaitu membantu masyarakat untuk mendapatkan dana dengan cepat untuk permodalan.

Lebih jauh dari itu, dalam prakteknya, gadai emas syariah mulai meninggalkan esensi dari prinsip syariah. Gadai emas syariah ini pada dasarnya dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat, namun terdapat hal-hal bisa disalahgunakan oleh sebagian pihak. 

Sebagai contoh toleransi jumlah pinjaman hingga 250 juta rupiah dapat membuka peluang untuk melakukan tindakan spekulatif. Selain itu, periode gadai dapat diperpanjang setelah 4 bulan. 

Jika diilustrasikan, maka ketika seseorang menggadaikan emasnya dan menerima pinjaman, ia dapat menggunakannya untuk membeli emas berikutnya, dan kemudian menggadaikannya sekali lagi, dan seterusnya. 

Dengan begini seseorang dapat menggadaikan beberapa keping emas secara berulang hanya dengan memiliki sekeping emas sebagai modal awalnya. Dan ia dapat menjual keping emas yang sudah ada disaat harga emas meningkat di pasaran. 

Praktek gadai emas seperti ini dikenal dengan nama berkebun emas. Berdasarkan fakta empiris tersebut, seiring dengan naiknya harga emas maka permintaan masyarakat akan gadai emas semakin meningkat. 

Alhasil membuat gadai yang awalnya dimulai sebagai instrumen pembiayaan bergeser fungsi menjadi instrumen investasi dan transaksi berkebun emas ini dianggap tidak sesuai dengan syariah dan mengubah tatanan gadai emas menjadi kegiatan spekulasi.

Amir Nuruddin, Profesor Fakultas Ekonomi Syariah, dari IAIN di Sumatera Utara menegaskan: 

"Menggadaikan emas di perbankan Islam pada dasarnya untuk membantu orang-orang yang dalam jangka pendek mengalami kesulitan keuangan, sehingga mereka membutuhkan pinjaman (al-qardh) dengan emas sebagai jaminan (rahn emas) serta membayar deposit emas di bank dengan kontrak ijarah.” 

Adiwarman Karim, seorang konsultan dan pakar ekonomi Islam di Indonesia, menegaskan bahwa praktik menggadaikan emas (yang seperti berkebun emas diatas) tidak sejalan dengan tujuan awal kegiatan menggadaikan emas -dimana pada hakekatnya gadai emas ini boleh- dan tidak mematuhi fatwa dari Dewan Syariah Nasional.

Latar belakang diatas membuat penulis dapat menyimpulkan beberapa hal terkait regulasi gadai emas syariah di Indonesia yang belum komprehensif sehingga adanya peluang melakukan transaksi berkebun emas, diantaranya:

  1. Tidak ada batasan waktu dalam melakukan transaksi gadai, sehingga gadai emas dapat terus diperpanjang.
  2. Fatwa dari DSN-MUI No.77/DSN-MUI/2010 yang memungkinkan pembelian (Murabahah) emas dengan cara mencicil (cicilan emas). Berangkat dari fatwa ini, beberapa bank pun melakukan inovasi dalam produk-produk islami dengan memungkinkan nasabah membeli emas secara angsuran dan kemudian berulang kali menggadaikan emas mereka tanpa batasan.

Oleh karena itu, tentu hal ini kedepannya akan bisa dioptimalkan dengan regulasi yang baik dari pihak-pihak yang berkontribusi didalamnya. Dengan begitu, jelas bahwa peran pemerintah diperlukan terutama untuk melakukan strategi sosialisasi produk gadai emas syariah. 

Beberapa langkah dapat diambil untuk mengoptimalkan peran pemerintah dalam upaya mendukung strategi tersebut, yaitu, penargetan, pengintegrasian, pemahaman, dan implementasi. 

  • Penargetan adalah penentuan target sosialisasi. Penargetan juga dilakukan untuk menentukan pihak-pihak yang diharapkan pemerintah untuk memainkan perannya. 
  • Integrasi dilakukan dengan integrasi dan kerja sama antara pemerintah terkait dengan pihak-pihak yang terkait dengan sosialisasi produk gadai syariah, seperti OJK dan lembaga jasa keuangan syariah yang menyediakan produk jasa keuangan syariah. 
  • Pemahaman adalah pengetahuan dan pemahaman yang memadai tentang produk gadai emas syariah. 
  • Implementasi adalah langkah konkrit dalam mengoptimalkan peran pemerintah dalam upaya mendukung strategi sosialisasi produk gadai emas syariah.

Beberapa langkah strategis ini diharapkan dapat mengoptimalkan peran pemerintah dalam upaya mendukung strategi sosialisasi produk gadai emas syariah yang sesuai dengan prinsip nilai-nilai Islam. Sehingga diharapkan tidak ada kekeliruan dalam penggunaannya dan masyarakat bisa melakukan gadai emas syariah sesuai dengan esensi asalnya.

Adapun kita, selaku pengguna, atau praktisi, atau akademisi, atau mungkin selaku pembaca yang tidak sengaja melihat tulisan ini, kita perlu mengetahui dan meyakini bahwa pada dasarnya hukum asal menetapkan syarat dalam mu’âmalah adalah halal dan diperbolehkan kecuali ada dalil (yang melarangnya). Dan prinsip hukum Islam melarang unsur-unsur di bawah ini dalam transaksi-transaksi muamalah:

  1. Perniagaan atas barang-barang yang haram
  2. Bunga (riba)
  3. Perjudian dan spekulasi yang disengaja (maisir)
  4. Ketidakjelasan dan manipulatif (gharar)

Maka jika wahyu sudah berbicara terkait larangan unsur-unsur diatas, sudah sepantasnya kita mengikutinya dengan meninggalkan transaksi yang berpotensi memunculkan unsur-unsur tersebut. Sebagaimana kita kembali kepada kaidah dari Ekonomi Islam sendiri:

Tujuan dari ekonomi islam adalah menggapai sebuah kesejahteraan tanpa kedzaliman, dan kesejahteraan disini diartikan dengan mendapatkan keselamatan baik di dunia dan di akhirat. Maka kembali-lah kepada hukum Islam dalam menjalani kehidupan ini, karena sejatinya kesejahteraan yang berlandaskan dengan ketaqwaan itu bersifat abadi.

Sumber:

1. Nurul Huda dan Handi Risza Idris, Ekonomi Makro Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 3

2. Muhammad Sjaiful, “Urgensi Prinsip Proporsionalitas pada Perjanjian Mudarabah di Perbankan Syariah di Indonesia”. Halrev Journal of Law, 1(2), (2015), p. 228.

3. Nikmah, dkk., “Analisis Implikasi Pembiayaan Syariah pada Pedagang Kecil di Pasar Tanjung Jember”, Jurnal Ekonomi Bisnis dan Akuntansi, Volume 01, 2014, h. 8.

4. Antonio, Muhammad Syafi’i. 2001. Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani Press.

5. Abubakar, L., & Handayani, T. (2017). Legal Issues in Sharia Pawn Gold Practice in Indonesia . Fiat Justisia Jurnal Ilmu Hukum, Volume 11 Issue. 1, ISSN 1978-5186 .

6. Harahap, D. (2017). Gold Pawning in Syariah Banking: An Economic Analysis . IOSR Journal Of Humanities And Social Science (IOSR-JHSS) Volume 22, Issue 6, Ver. 5. e-ISSN: 2279-0837, p-ISSN: 2279-0845, 40-48.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun