Di masa nabi Muhammad masih hidup dan pada era sahabat hingga generasi tabi'in, sunnah rasul dipraktikkan oleh umat Islam melalui informasi yang beredar dari mulut ke mulut (bhs jawa: getok tular). Pada era itu umat Islam belum mengenal istilah hadis nabi.
Hadis nabi berupa 'dokumen tertulis' baru dikenal pada sekitar tahun 101 Hijriyah, saat khalifah Umar bin Abdul Aziz memerintahkan Ibn Syihab al Zuhri untuk mengumpulkan dokumen berisi catatan tentang berbagai hal yang berkaitan dengan prilaku, perkataan dan sikap nabi Muhammad.
Selanjutnya hadis terdokumentasi secara istematis dalam bentuk kitab hadis terjadi pada sekitar tahun 190-210 Hijriyah. Pembukuan kitab hadis itu dilakukan oleh beberapa ulama hadis antara lain Imam Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasa'i dan Ibnu Majah. Â Kitab-kitab kumpulan hadis tersebut kemudian dikenal sebagai Kitab Hadits Shahih Bukhari, Hadits Shahih Muslim dan sebagainya.
Proses pembukuan hadis dilakukan dengan penelusuran terhadap para perawi dengan sanat yang tidak boleh terputus. Â Namun akibat rentang waktu yang cukup panjang, lebih dari 150 tahun sejak Rasulullah wafat maka dalam penulisan hadis memungkinkan terjadi ketidak akuratan, terutama mengenai redaksi (matan hadis).
Baca juga:Â Kontribusi Hadits Sebagai Sumber Pendidikan Islam
Memaknai Hadis Nabi
Tidak semua matan (redaksi) hadis nabi mampu menjelaskan makna hakiki dari sunnah rasul. Karena hadis nabi ditulis berdasarkan sudut pandang dan persepsi para perawi yang berbeda-beda.
Satu contoh, hadis tentang posisi tangan ketika berdiri dalam shalat. Sejumlah hadis menuliskan dengan beberapa keterangan (matan) yang berbeda tentang posisi tangan ketika berdiri dalam shalat, yakni ada yang bersedekap di atas dada, di bawah dada, di perut, di atas pusar maupun di bawah pusar, bahkan ada pula yang meluruskan kedua tangan ke bawah.Â
Perbedaan dalam penulisan redaksi (matan) hadis bisa terjadi karena para sahabat selaku saksi atau perawi pertama melihat sikap nabi dari sudut pandang dan pemahaman yang berbeda. Kemudian disampaikan secara berlanjut kepada perawi berikutnya dan berikutnya lagi dengan kalimat yang kemungkinan mengalami perubahan.
Hal ini pula yang menyebabkan empat imam mazhab besar juga berbeda dalam pengamalan tata cara shalat. Â Namun para ulama tidak mempermasalahkan perbedaan itu karena menilai perbedaan itu hanya bersifat furu'iyah (cabang), dan bukan ushuliyah (pokok/prinsip). Bukankah nabi sendiri tidak pernah mempermasalahkan (mengoreksi) sikap shalat para sahabatnya?
Wallahu a'lam bishawab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H