Mohon tunggu...
Roro Asyu
Roro Asyu Mohon Tunggu... Freelancer - #IndonesiaLebihLemu

suka makan, suka nulis, suka baca, tidak suka sandal basah www.rinatrilestari.wordpress.com www.wongedansby.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Telat Lahir

2 Februari 2011   06:09 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:58 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kamu nggak papa sendirian?" tanya Mona.

"Nggak papa, tinggal aja," jawab Selly.

"Oke deh, aku duluan."

Selly memandangi teman sekantornya itu berlalu. Sejenak dia mendesah. Antrian di ATM yang cukup panjang, keluhnya dalam hati. Dinyalakan mp3 dari handphonenya setelah menyumbatkan earphone ke kedua telinganya. Satu lagu, dua lagu sudah berputar, masuk ke telinga tembus ke otaknya, membuat dia hilang untuk beberapa saat.

"Kak! Kak!"

Seorang cowok tiba-tiba sudah ada di samping Selly. Sambil tersenyum dia terus memanggil Selly. Selly yang masih asyik dengan lagu di mp3-nya langsung memaki karena kaget.

"Apa?"

Cowok yang ada di samping Selly masih tersenyum. Dengan gerakan dagunya dia menunjuk ke ATM. Selly pun sadar dengan apa yang dimaksud cowok itu. Tanpa sepatah kata dia langsung masuk ke ruang ATM, malu. Di dalam Selly tidak langsung mengambil uang, dilepas earphone dari telinganya. Dalam hati dia menyesal telah bicara kasar pada cowok itu. Karena terlalu asyik mendengarkan musik dia tidak sadar kalau antrian sudah tiba gilirannya. Setelah mengambil uang, Selly pun segera keluar. Cowok tadi masih berdiri di depan pintu  ATM, menunggu giliran. Baru saja mulut Selly akan terbuka tapi langsung diurungkan niatnya.

"Suaranya bagus deh Kak. Kakak pasti penyanyi ya?"

Bibir Selly yang sudah disiapkan untuk sebuah senyum permintaan maaf langsung berubah manyun, sebel. Tanpa membalas pertanyaan cowok itu, dia pun langsung ngeloyor pergi. Rupanya tadi tanpa sadar dia bersenandung, mengikuti lagu yang sedang didengarkannya. Suaranya pasti lumayan keras karena ibu-ibu yang sedang antri di ATM pun terlihat menahan senyum melihatnya.

"Sialan!" makinya dalam hati.

[caption id="attachment_88204" align="alignleft" width="300" caption="diambil dari google"][/caption]

Surat itu masih dipegangnya. Dia ingat betul ketika dia masih duduk di bangku esde, Pak Pur, tukang pos, sering sekali datang ke rumahnya. Selly yang kala itu masih berlangganan majalah anak-anak sering mendapat kiriman surat dari teman yang dia kenal lewat salah satu rubrik di majalah langganannya itu. Tapi itu dulu, sudah lama Selly tak lagi menerima kiriman surat dari sahabat-sahabat penanya, dia sendiri juga sudah tidak pernah mengirimkan surat lagi. Dan surat yang baru dia terima itu adalah surat dari Rendi. Meski dia tahu Rendi sering melakukan hal-hal gila tapi Selly tak menyangka bahwa cowok itu akan mengiriminya sebuah surat. Tak begitu banyak yang dia tulis, tentang kenangan ketika awal mereka bertemu, pertemuan yang menurut Selly adalah sebuah tragedi yang memalukan. Surat yang menandai setahun mereka bertemu, setahun mereka mengenal.

Cowok itu, Rendi, entah bagaimana menggambarkannya. Pertemuan pertama yang kemudian diikuti pertemuan kedua, ketiga dan seterusnya. Pertemuan-pertemuan tak sengaja, sebuah kebetulan yang membuat Selly kesal karena menahan malu. Pertemuan-pertemuan yang akhirnya membuat mereka dekat. Lamunan Selly kembali melayang ke sebuah masa, ke pertemuan keduanya dengan Rendi.

Selly baru mau mandi ketika menyadari kalau sedang mendapat tamu bulanannya. Terburu-buru, karena di rumah sedang kehabisan pembalut, Selly pun berlari ke minimarket yang tak terlalu jauh dari rumahnya itu, hanya di depan blok. Begitu masuk dia langsung menuju ke tempat yang dia cari. Sebungkus pembalut diambilnya dari rak.

"Wah ketemu lagi. Kakak yang penyanyi itu kan?"

Seorang cowok sudah berdiri di samping Selly sambil melempar senyum.

"Lagi belanja ya Kak?" tanyanya lagi.

Selly yang kaget sekaligus malu, takut kalau barang yang dia pegang ketahuan hanya mampu tersenyum kecut. Tanpa ada keinginan menjawab, Selly langsung berbalik arah, ingin secepatnya pergi.

"Kakak ini pasti suka kebersihan ya? Bawa serbet kemana-mana," kata cowok itu yang langsung membuat langkah Selly terhenti.

Mata Selly langsung menuju ke arah pandangan cowok itu yang sedang mengamati sesuatu di saku belakang celana pendeknya. Kalau saja bisa ingin rasanya Selly ditelan bumi. Wajahnya langsung memerah padam, menahan kesal dan lebih-lebih malu. Karena terburu-buru Selly lupa kalau celana dalamnya yang tadi diselipkan di saku belakangnya masih bertengger dengan manis, separuh keluar dan memperlihatkan coraknya. Celana dalam bermotif gambar kartun yang dikira serbet, entah apa cowok itu benar-benar melihatnya sebagai serbet atau sedang mencandai Selly.

Dengan sigap Selly memasukkan celana dalam keramatnya itu ke saku celana, berjubel. Masih dengan senyum yang dipaksakannya dia segera berlalu, ngacir. Tak ingin lagi berlama-lama disitu, Selly langsung menuju pintu keluar.

"Mbak! Mbak! Itu pembalutnya belum dibayar!" teriakan penjaga minimarket menghentikan langkah Selly.

Sambil meminta maaf Selly kembali untuk membayar belanjaannya itu. Rencanannya untuk segera pergi dari tempat itu pun gagal, lebih lagi dia juga harus antri dulu di kasir. Selly memaki-maki dalam hati. Makian Selly lebih panjang lagi dalam hati karena ternyata cowok tadi saat ini juga sedang mengantri di belakangnya.

Tak lagi seperti sebelumnya, kali ini dia diam, hanya bibirnya masih tetap menyunggingkan senyum. Sepertinya dia sadar kalau Selly tidak sedang ingin beramah tamah, Selly sedang kesal. Dalam hati Selly sedikit lega, malas rasanya harus berbasa-basi apalagi pada cowok yang selalu membawa kesialan baginya itu. Setelah menunggu akhirnya tiba gilirannya membayar.

"Makasih," kata Selly pada kasir.

Baru selangkah beranjak sebuah suara yang mulai dikenal telinganya membuatnya kembali menahan kesal.

"Hati-hati Kak, nggak usah buru-buru."

Selly geleng-geleng kepala, mengingat pertemuannya dengan Rendi selalu berhasil membuat sebaris senyum di bibirnya. Ditimang-timang surat di tangannya. Lagi-lagi Selly tersenyum.

"Andai kamu nggak telat lahir, Dek," ucapnya lirih.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun