Dengan sigap Selly memasukkan celana dalam keramatnya itu ke saku celana, berjubel. Masih dengan senyum yang dipaksakannya dia segera berlalu, ngacir. Tak ingin lagi berlama-lama disitu, Selly langsung menuju pintu keluar.
"Mbak! Mbak! Itu pembalutnya belum dibayar!" teriakan penjaga minimarket menghentikan langkah Selly.
Sambil meminta maaf Selly kembali untuk membayar belanjaannya itu. Rencanannya untuk segera pergi dari tempat itu pun gagal, lebih lagi dia juga harus antri dulu di kasir. Selly memaki-maki dalam hati. Makian Selly lebih panjang lagi dalam hati karena ternyata cowok tadi saat ini juga sedang mengantri di belakangnya.
Tak lagi seperti sebelumnya, kali ini dia diam, hanya bibirnya masih tetap menyunggingkan senyum. Sepertinya dia sadar kalau Selly tidak sedang ingin beramah tamah, Selly sedang kesal. Dalam hati Selly sedikit lega, malas rasanya harus berbasa-basi apalagi pada cowok yang selalu membawa kesialan baginya itu. Setelah menunggu akhirnya tiba gilirannya membayar.
"Makasih," kata Selly pada kasir.
Baru selangkah beranjak sebuah suara yang mulai dikenal telinganya membuatnya kembali menahan kesal.
"Hati-hati Kak, nggak usah buru-buru."
Selly geleng-geleng kepala, mengingat pertemuannya dengan Rendi selalu berhasil membuat sebaris senyum di bibirnya. Ditimang-timang surat di tangannya. Lagi-lagi Selly tersenyum.
"Andai kamu nggak telat lahir, Dek," ucapnya lirih.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H