Malam itu aku baru pulang dari cinema, Kimi No Na Wa menjadi menu utama kami di satnite itu. Aku sedang menutup pintu saat ibu, ayah dan adik menatapku bersamaan. Aku tak ingin menjadi orang asing meski sering melarikan diri dari pembicaraan seputar pernikahan.
“Duduklah, May.”
“Iya Mam.” Aku melempar tubuhku ke atas sofa, menyandar sebentar lalu membenahi posisi dudukku saat semua mata tertuju padaku, untuk menunggu informasi terbaru.
“Akhir-akhir ini kau terlihat bahagia. Sudah seharusnya kau menceritakan itu pada kami.” Ibu memang sangat peduli padaku.
“Bagimana, siapa, apa, mengapa, dimana, dan kapan.” Aku bergumam lirih sambil melirik tiga pasang mata di sekelilingku. Ayah menaruh majalahnya di atas meja, adikku menutup laptopnya dan ibu tersenyum padaku.
“Ayolah, ceritakan semuanya!” Desak ibu. Keluargaku cukup kolot dalam hal pernikahan, setidaknya aku harus mengabari mereka dengan siapa aku berkencan, secara lengkap – bukan hanya sinopsisnya saja.
Aku ingin mereka tahu, bagaimana jantungku meronta-ronta, pipiku memerah bata, dan tanganku gemetar saat aku mengangkat telepon lelaki itu untuk yang pertama kali. Aku tidak bisa bernafas tenang saat ia tak menghubungiku seharian, saat aku mulai membayangkan memakai gaun pernikahan dengan cincin memeluk jariku.
Aku merasakan terjerat cinta semenjak dia menyiksaku dengan ungkapan jujurnya ‘wanita bodoh’. Sayangnya itu bukan hal yang bisa kuceritakan pada mereka, mengingat usiaku yang sekarang.
“Baiklah, aku berjanji akan menikah. Tapi tolong, sekali ini saja. jangan campuri ini dulu, biar kami berusaha. Jadi jangan terlalu memaksa.” Aku memberikan syarat-syarat demi kenyamananku. Kami masih jauh dalam hal pernikahan.
“Ya, aku sudah cukup senang akhirnya kau berpikir untuk menikah.” Ibuku merendahkan nadanya. Aku tersenyum melihat rona wajah mereka mulai berubah. Seperti telah menemukan harta karun dari perburuan menantu yang selama ini mereka galakkan.
“Siapa namanya?”