Mohon tunggu...
Rina Sutomo
Rina Sutomo Mohon Tunggu... Berfantasi ^^ -

Hening dan Bahagia menyatu dalam buncahan abjad untuk ditorehkan sebagai "MAKNA"

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jejak-jejak Musim

6 Oktober 2016   22:51 Diperbarui: 6 Oktober 2016   23:33 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: infinitemirai.wordpress.com

"Ini Susan, ketua organisasi XBMI saat ini."

Demikianlah Li mengenalkanku pada seorang wanita berkulit coklat dengan rambut hitam lebat sebawah pundak. Wanita itu tersenyum hanya beberapa detik saat Li masih memandangnya, dan selebihnya - senyum itu beralih menjadi paruh elang dengan mata gesit yang siap menerkam mangsa. Aku mengabaikannya, setidaknya untuk kesan baikku dihari pertama bertemu dengannya.

Li membawaku ke sebuah ruangan dimana ada empat wanita yang duduk di kursi-kursi mengelilingi meja yang melingkar. Ruangan itu tak terlalu luas, namun penuh sesak dengan rak-rak buku yang berjajar di pinggiran tembok. Li menyuruhku duduk dan berkenalan dengan wanita-wanita itu. 

Sama sepertiku dibeberapa waktu sebelumnya, mereka adalah kaum buruh yang saat itu sedang tertindas oleh cemas dan berharap di pintu batas wajar. Aku memahami mereka melalui wajah-wajah pasi dengan airmata yang sedikit menggenang dan siap menetes kapan saja. Aku tak perlu mendengar banyak kisahnya untuk memahami sesemrawut apa hati wanita-wanita itu.

"Lily, kamu bisa membantu mereka untuk menerjemahkannya ke dalam bahasa Inggris. Biar kasus ini dapat terselesaikan secepatnya."

Aku mengerti maksud Li, lelaki setengah gemuk dengan wajah bulat dan mata sipit yang duduk di sampingku itu sebagai organizer dari sebuah organisasi pekerja terbesar di Hong Kong. Itulah mengapa dia membawa wanita-wanita itu datang kemari. Kurang lebihnya sama sepertiku setahun yang lalu, lelaki itu yang akan menuntun mereka menuju ruang mediasi sebelum persidangan, bahkan sampai kasus itu benar-benar rampung. 

Tugas semacam itu bukan tugas yang mudah, itu sebabnya dia memperoleh bayaran yang impas. Bukan dari gaji yang tinggi atau uang suap dari wanita-wanita itu. Berdasar banyaknya kasus yang telah diselesaikannya ia dapat menghadiri pertemuan dari wakil organisasi pekerja dari berbagai penjuru dunia. Seperti konferensi ketenagakerjaan - ILO di Bali bulan Agustus lalu.

"Biar aku saja, Li."

Tanpa meminta persetujuan Li, Susan duduk di samping kiri Li lalu membuka laptop hitamnya. Aku yang paham maksudnya - segera berdiri dan mengembalikan kursi itu di tempat semula.

"Susan, biar Lily saja yang menerjemahkannya."

"Tidak perlu, aku sudah menanyai mereka semua dan menyalin kasus mereka ke dalam bahasa Inggris."

"Tapi..."

"Ini, bacalah."

Aku dan Li sempat beradu pandang namun hanya sekilas. Sementara wanita-wanita yang sedang menghadapi kasus-kasus itu hanya menunduk dan sesekali melemparkan senyum, mungkin untuk mengurangi kekhawatiran mereka akan permasalahan masing-masing.

Banyak kalimat yang sebenarnya ingin aku sampaikan kepada mereka, sebagai motivasi yang bukan dari motivator namun aku yakin itu akan lebih berguna daripada mengajak mereka ngobrol tanpa arah yang jelas. 

Tentang aku, untuk menyukai seseorang seperti Li aku selalu berkaca lebih lama dari yang seharusnya. Hanya karena aku juga berangkat dengan visa buruh meskipun selama ini Li tak pernah mempermasalahkan itu. Karena apa yang telah kami lalui bukan hal yang biasa untuk kami umbar, begitu pula ketika mata kami tiga hingga tujuh detik bertatap pelan. Satu tahun ini Li adalah lelaki kedua yang mengenalku dengan baik - setelah ayahku.

Teringat kembali olehku, bagaimana awal musim semi di bulan Maret itu menghadiahkan kami perasaan yang lebih tajam hingga berakhir dengan sedikit pertengkaran. Bukan hal yang mudah untuk mengembalikan suasana sehingga aku dan Li bisa duduk berdekatan kembali. 

Aku meragukannya sejak hari pertama ia memelukku, untuk menyukaiku dibutuhkan lelaki yang setengah waras, yang dengan sukarela mau bersamaku didua keadaan - jatuh dan berdiri. Meskipun Li sudah pernah bersamaku di kedua waktu itu namun itu tidaklah cukup, lebih tepatnya aku yang tidak cukup baik untuk disukai lelaki sepertinya. Meskipun aku berperang dengan beberapa sudut di hatiku yang dengan waras mengatakan aku menyukai Li dan tatapan datarnya. Hingga aku tak menyukai Li yang tak mempunyai pendirian jika itu adalah tentang karir di organisasinya.

Tentang mimpi, aku tak suka mendebatinya saat ia tergila-gila dengan cita-citanya bersama organisasi besar itu. Li telah membangun karirnya sejak lulus dari Lingnan University, lima tahun yang lalu. Rasa sukaku sudah sangat cukup untuk mendukungnya menjadi yang lebih baik dan lebih baik lagi, itu juga bukan masalah jika aku tak memilkinya. Karena tanpa orang lain tahu, Li yang membawaku hingga aku bisa berdiri setelah jatuh dari kekerasan dan penyiksaan yang dilakukan oleh majikanku beberapa waktu yang lalu.

Juga dipagi-pagi yang lain saat Li menemuiku untuk selalu menyuruhku menulis di blog pribadiku, mengembangkan potensiku, hingga pada waktu-waktu berikutnya saat ia menemuiku tanpa tujuan yang jelas. Aku tak mungkin lupa, bagaimana Li memelukku dengan mengumbar rasa suka yang ia coba katakan, meski berakhir percek-cokan karena aku tak mempercayainya.

Hingga rapat mereka telah selesai dan aku masih berdiri di samping pintu di ruangan itu, Susan menggandeng tangan Li untuk keluar ruangan meski dengan jelas aku bisa melihat - Li mencoba menjauhkan tangan itu.

Aku mengambil tasku dari ruangan satunya dengan maksud untuk undur diri, sekaligus aku akan mempunyai kesempatan untuk berbicara dengan wanita-wanita di ruangan tadi. Meski tak membutuhkanku untuk dapat membantu menyelesaikan masalah mereka seperti Li, setidaknya mereka adalah orang yang patut untuk disemangati. Perhatian kecil akan membuat mereka lebih tenang, aku memahami - aku pernah berada di posisi itu sebelum hari ini.

"Li, aku pulang dulu."

"Tunggu sebentar."

Li merapikan buku-buku di meja kerjanya sementara Susan berdiri di sampingku dan mengawasi kami berdua.

"Li, aku akan pergi dengan Lily, kamu pulanglah nanti saja."

Wanita itu menarik tanganku keluar dari kantor, aku hanya mengikuti alur yang akan dipilihnya. Kami memasuki lift berenam dengan wanita-wanita tadi. Hingga kami tiba di lantai bawah, keempat wanita itu mengucapkan selamat tinggal, lalu Susan menarik tanganku untuk berdiri di samping ruang satpam yang kebetulan sedang ditinggal penjaganya. 

"Li pernah bercerita tentangmu."

Wanita itu mengawali pembicaraannya dengan mata yang mengintai setiap gerak wajahku.

"Dan Li tak pernah menceritakan tentangmu Mbak Susan."

Aku menyunggingkan senyum kemenangan yang sudah kutahan-tahan beberapa jam sebelumnya. Aku baru mengenalnya, namun aku tak bisa mentolerir wanita tak beretika seperti ini. Sudah selayaknya mulutku yang pedas bermain - mencincangnya dengan kata-kata yang menuntut kepuasan.

"Lily, Kamu menyukai Li?"

"Apa Kamu keberatan Mbak?"

"Li hanya milikku."

"Aku tak melihat cincin di jari manis kalian."

Wanita itu diam dengan wajah memerah yang menahan geram, sementara aku menyandarkan tubuhku di tembok ruangan yang sedikit berdebu dengan pencahayaan yang sangat terang.

"Kamu akan kalah, kamu tahu, aku ketua XBMI."

"Aku tidak tertarik."

"Bagus, menjauhlah dari Li."

"Li dan aku adalah sebuah kedekatan yang tak perlu orang lain ketahui. Termasuk kamu, Mbak. Urus dirimu sendiri."

Aku berjalan beberapa langkah sebelum akhirnya tangan wanita itu menarikku kembali.

"Lily, Li akan melakukan apapun untuk karirnya di organisasi itu. Aku bisa membuatnya bertahan di sampingku. Menyerahlah sebelum kamu tertampar keadaan."

Aku tak menatapnya, pandanganku lurus ke depan dengan rasa muak yang sangat menjenuhkan. Hingga tangan wanita yang berdiri di belakangku itu melepas lenganku, pada saat yang bersamaan terdengar suara Li menegur kami.

"Lily, Susan, kalian masih di sini."

Aku tak ingin menatap wajah mereka. Kubuka pintu masuk ke bangunan yang menjulang tinggi itu. Sebelumnya Li sempat memanggilku namun itu tak cukup untuk menghentikan langkahku. Bersama angin-angin malam aku berjalan pelan mencari arah berlawanan agar tak berujung pada pertemuan dengan wajah mereka berdua.

Hatiku berisik dengan protes-protes kecilnya yang mengharapku membunuh rasa suka sejak setahun yang lalu. Namun sisi yang lain berbisik berirama merdu bahwa Li lebih menyukaiku dari Susan. Aku akan selalu ingat, Li pernah mengungkapkan rasa sukanya di awal musim semi bulan Maret lalu. 

Sayangnya aku akan lebih ingat, Li harus menggapai impiannya melalui pijakan-pijakan di organisasi besar itu. Benar apa kata Susan, jika tak ingin tertampar keadaan baiknya aku takkan mempertaruhkan apapun untuk menyukai Li, lelaki hebat itu. Yang aku tahu, jika berdiri pada dua pilihan, lelaki itu tak akan mau menghancurkan karirnya apalagi hanya untuk hubungan pribadi. Li tak akan membuat kesalahan pada Susan, setidaknya untuk hari ini. 

Dan esok, atau entah kapan - aku masih bisa menikmati wajah Li bersama bangku-bangku di taman, karena angin dan musim panas mulai merindukan jejak-jejak kami, aku dan Li serta pelukan pertama kami, beberapa bulan sebelumnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun