Aku tak ingin menatap wajah mereka. Kubuka pintu masuk ke bangunan yang menjulang tinggi itu. Sebelumnya Li sempat memanggilku namun itu tak cukup untuk menghentikan langkahku. Bersama angin-angin malam aku berjalan pelan mencari arah berlawanan agar tak berujung pada pertemuan dengan wajah mereka berdua.
Hatiku berisik dengan protes-protes kecilnya yang mengharapku membunuh rasa suka sejak setahun yang lalu. Namun sisi yang lain berbisik berirama merdu bahwa Li lebih menyukaiku dari Susan. Aku akan selalu ingat, Li pernah mengungkapkan rasa sukanya di awal musim semi bulan Maret lalu.Â
Sayangnya aku akan lebih ingat, Li harus menggapai impiannya melalui pijakan-pijakan di organisasi besar itu. Benar apa kata Susan, jika tak ingin tertampar keadaan baiknya aku takkan mempertaruhkan apapun untuk menyukai Li, lelaki hebat itu. Yang aku tahu, jika berdiri pada dua pilihan, lelaki itu tak akan mau menghancurkan karirnya apalagi hanya untuk hubungan pribadi. Li tak akan membuat kesalahan pada Susan, setidaknya untuk hari ini.Â
Dan esok, atau entah kapan - aku masih bisa menikmati wajah Li bersama bangku-bangku di taman, karena angin dan musim panas mulai merindukan jejak-jejak kami, aku dan Li serta pelukan pertama kami, beberapa bulan sebelumnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H