Mohon tunggu...
Rina Susanti
Rina Susanti Mohon Tunggu... Penulis - Mama dua anak yang suka nulis, ngeblog dan motret. Nyambi jualan kopi dan jualan anggrek/tanaman hias. Bisa intip blog saya di www.rinasusanti.com

Mama dua anak, penulis lepas dan blogger. www.rinasusanti.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

'Horornya' Calo Kargo di Bandara

7 Desember 2016   02:45 Diperbarui: 7 Desember 2016   13:12 432
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: bandarasoekarnohatta.com

Malam-malam tidak bisa tidur karena ingat kejadian ini, kejadian yang bikin shock, panik dan marah. Jadi saya tuliskan biar bisa tidur tenang sekaligus berbagi pengalaman terutama untuk teman-teman UKM pemula seperti saya.

Beginilah Ceritanya Kawan
Sebagai pedagang online pemula dengan skala UKM tidak pernah terbayangkan akan berhubungan dengan pengiriman barang oleh kargo. Karena di benak saya, pengiriman oleh kargo itu harus dalam jumlah besar. Walaupun pembeli barang dagangan saya berasal dari seluruh kepulauan Indonesia selama ini ter-handle dengan jasa pengiriman Pos atau JNE. Lagipula barang yang dikirim pun memang tidak besar, hanya bunga.

Untuk bunga potong, saya hanya melayani pengiriman daerah Jabodetabek, paling jauh Bandung. Dengan begitu kondisi bunga sampai di tangan pembeli dalam kondisi segar dan memuaskan. Sampai bulan lalu saya mendapat pesanan ratusan tangkai bunga potong dari Kalimantan Tengah.

“Maaf mba gak bisa, saya khawatir, bunganya sampai sana layu dan tidak bisa dipakai,” tolak saya. Perkiraan saya jika tetap dikirim akan sampai paling cepat tiga hari walaupun ada jasa layanan sehari sampai, saya tidak yakin kalau ke Kalimantan beneran bisa sehari sampai.

“Dikirim pake kargo Mba, sehari sampai.”

“Duh saya belum pernah pake jasa kargo Mba lagi pula saya kurang bisa packing bunga kalau jarak kirim terlalu jauh, khawatir bunga sampai di tangan Mba rusak.”

“Ya, udah kalau begitu saya ke Jakarta Mba. Soalnya di sini bunga itu stoknya sedikit dan harganya mahal. Bunga di tempat mba selalu ready kan?”

“Insyaallah ready karena di sini banyak kebunnya, kalau di kebun saya kosong bisa ambil dari kebun rekan saya.”

Tunggu ditunggu calon pembeli tidak datang sampai suatu malam tiba-tiba dia mengirimkan pesan lewat WA.

“Mba, lusa bunganya tolong dikirim ya, maksimal jam 8 malam sampai bandara Soeta karena mau dipakai Hari Minggu. Besok saya transfer uangnya. Minta rincian harga, biaya ongkir dan nomor rekening. Oh ya mba nama kargonya Tr*g***.”

Sejenak saya bingung. Walaupun pernah ke bandara ya untuk naik pesawat, tidak kebayang seperti apa kargo di sana. Pak Suami berinisiatif membantu dengan mencari tahu nama kargo yang disebutin konsumen kami. Akhirnya dapatlah nomor telepon kargonya. Kami pun menanyakan secara detail letak kantor kargonya di bandara, jam layanan dan harga ongkir.

Singkat cerita tibalah saya di hari harus mengirim barang ke kargo di Bandara Soeta. Dengan bekal petunjuk nama jalan saya sampai di Terminal 3 yang memang khusus kargo.

Saya langsung melihat Masjid Aladin yang menjadi petunjuk dari kargo yang sudah saya telepon sehari sebelumnya. Kendaraan kami perlambat begitu melihat penampakan sebuah gudang dengan banyak barang terbungkus. Mungkin di sini kantonya, pikir saya.

“Mau kemana Bu, kirim barang atau mengambil barang?” tanya seorang bapak dengan name tag menggantung, menghentikan laju kendaraan kami.

“Kirim,” jawab saya.

“Oh di sini bu, silakan parkir. Kirim ke mana Bu?”

“Pangkalan Bun.”

“Mana barangnya, biar saya bantu turunkan,” lanjut dia. Supir saya membukakan bagasi dan membantu menurunkan barang, berupa dua dus besar.

Lalu si penanya yang saya pikir salah satu karyawan kargo karena memakai nama name tag berinisiatif membawakan barang saya ke arah gudang, saya mengikuti langkahnya. Seorang lelaki dengan pakaian lebih rapi menyambut saya dan menimbang barang kami.

“20 Kg Bu, tapi dihitung volume kena 30 Kg.”

Lha berat amat padahal saya hitung volume cuma 12 Kg (saya kan biasa hitung volume paket karena hampir tiap hari kirim barang dagangan via JNE). Tapi saya diam saja karena bingung.

Lalu dia meminta saya mengikutinya ke lantai dua. Saya minta rekan saya menemani karena rada serem juga ya kondisinya, banyak kuli lalu lalang. Rekan saya tak lain adalah petani bunga. Berhubung Pak Suami ngantor, jadi dia meminta petani kami menemani saya sekalian biar dia tahu juga.

Naik ke lantai dua saya lihat pintu bertuliskan dengan stiker nama kargo (tapi bukan kargo yang saya tuju), saya pikir saya akan diajak masuk ke sana, tapi dugaan saya salah. Saya berjalan menuju lorong lalu ada ruangan kecil. Saya dipersilakan duduk sementara dia menghitung biaya ongkos kirim.

“Satu kilo 28 ribu ya bu tadi barang Ibu kena volume jatuhnya 30 kilo ada dua dus jadi 60 kilo.” Duh biaya ongkir kurang donk, bisik saya dalam hati.

Dia memijit–mijit kalkulator sambil bicara, “Belum termasuk pajak 10 persen dan kalau bunga dikenakan biaya 100 persen."

“Biaya 100 persen apa?” saya benar-benar tidak mengerti.

“Ya ongkir ditambah 100%.”

“Iya.” Akhirnya itu yang meluncur dari mulut saya, otak mengingat-ngingat percakapan dengan CS kargo di WA tadi pagi, seingat saya tidak ada penambahan biaya 100%.

“Oh ya ada surat karantinanya Bu?”

“Belum.”

“Oh tidak  apa-apa nanti kami yang urus, biayanya 100 ribu. Jadi totalnya 3.7 juta, Bu.”

Busyet mahal amat! Jantung saya berdetak lebih cepat, kaget dan bingung. “Wah mahal amat ya, barangnya aja cuma sejuta.” Lalu saya ingat hitungan ongkir dari kargo yang sudah saya telepon, ongkirnya kisaran 500 ribu.

“Memang segitu, Bu. Tapi bisa diskon 2.7 juta.”

Tiba-tiba saya pengen mewek karena bingung. Membayangkan bunga-bunga yang akan saya bawa pulang lagi dan dibiarkan membusuk, uang pembeli saya kembalikan. Ya bunga potong itu tidak bisa saya jual jika batal dikirim karena batangnya sudah saya potong pendek sesuai permintaan. Kalau tetap saya kirim saya rugi 2 juta.

“Gimana, Bu?”

“Bentar saya telepon suami saya dulu,” teringat suami yang mungkin sedang konsen kerja di kantornya saya mengurungkan niat menelponnya. Oh ya kenapa tidak telepon orang kargonya. Saya telepon tapi teleponnya tidak aktif. Lalu saya ingat WA terakhir dari suami yang mengirimkan nomor telepon orang kargo yang bertugas hari ini, nomor yang didapatnya dari costumer service kargo.

“Mas, ini saya yang tadi pagi telepon mau kirim barang ke Pangkalan Bun. Kok ongkirnya mahal ya 3.7 juta.”

“Hah! Ibu di mana? Ibu kena calo. Posisi ibu di mana? Ibu salah. Ibu batalkan saja, bawa kembali barangnya. Saya di gudang X (saya lupa nama gudangnya). Ibu keluar dari sana, ikuti jalan lurus lalu belok…dsb.”

Kekagetan dan kebingungan saya berubah menjadi marah, sangat marah dan kesal sampai tidak tahan mulut ini untuk tidak ngedumel, hahaha. “Dasar nugarelo!”

“Ayo Bang turun, ga jadi kirim di sini,” kata saya pada rekan. “Ini calo.”

Saya masih ngedumel menumpahkan kekesalan dan kebodohan diri sendiri sepanjang menuruni tangga. Sampai tiga orang dengan pakaian necis menoleh keheranan ke arah saya. Pakain necis ala pegawai gitu. Terus terbersit pertanyaan, ”Apa mereka pegawai resmi sini? Apa mereka tidak tahu itu calo-calo bebas berkeliaran.” Jelas-jelas di spanduk di parkiran tertulis dilarang memakai jasa calo. Lha kita yang awan dan pertama kali kesini mana tahu itu orang calo atau enggak, terlebih ada spanduk peringatan itu.

Melihat kami membawa barang menuju mobil lelaki yang tadi memberhentikan kami bertanya, ”Tidak jadi Bu?”

“Nggaklah ini mah calo, masa ongkir 3.7 juta, garelo sugan. Teu kira-kira nipu teh, harga jual barangnya saja cuma sejuta.”

“Kalau ongkirnya sejuta setengah Ibu mau?” Duh ini abang calo lugu atau oon sih. Yang pasti pengen nampol itu orang. Udah ketahuan penipu masih nyoba nipu.

Setelah mengikuti jalan yang ditunjukkan kargo yang kami maksudnya akhirnya sampai. Kami mengurus surat karantina sendiri, bayar 60 ribu. Dan setelah ditimbang barang kami ternyata beratnya hanya 12 Kg volume perdus, beda jauh kan dari hitungan si calo. Dan ongkirnya hanya 348 ribu!

Tuh calo kalau mau nipu harusnya kira-kira ya biar orang ketipu, lha ini mark up kegedean jadi ketahuan bohongnya, hahahha. Mungkin banyak yang harus si calo bagi. 

Lega sekaligus sedih. Sedih dengan kenyataan calo-calo tanpa hati bebas berkeliaran. Bagaimana UKM seperti kami yang baru belajar dalam banyak hal bisa maju.

Tulisan ini sekadar berbagi pengalaman terutama untuk para UKM seperti kami yang baru berhubungan dengan pengiriman via kargo. Saya memang tidak sempat foto-foto sebagai bukti karena yang ada saat itu rasa panik dan kesal. Berikut saya lampirkan saja bon transaksi saya dengan kargo resmi sebagai bukti tulisan ini bukan mengada-ada.

Pengalaman tak terlupakan. Jadi kapan negara ini bebas pungli? #eh

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun