Mohon tunggu...
Rina Susanti
Rina Susanti Mohon Tunggu... Penulis - Mama dua anak yang suka nulis, ngeblog dan motret. Nyambi jualan kopi dan jualan anggrek/tanaman hias. Bisa intip blog saya di www.rinasusanti.com

Mama dua anak, penulis lepas dan blogger. www.rinasusanti.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

'Horornya' Calo Kargo di Bandara

7 Desember 2016   02:45 Diperbarui: 7 Desember 2016   13:12 432
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: bandarasoekarnohatta.com

Tiba-tiba saya pengen mewek karena bingung. Membayangkan bunga-bunga yang akan saya bawa pulang lagi dan dibiarkan membusuk, uang pembeli saya kembalikan. Ya bunga potong itu tidak bisa saya jual jika batal dikirim karena batangnya sudah saya potong pendek sesuai permintaan. Kalau tetap saya kirim saya rugi 2 juta.

“Gimana, Bu?”

“Bentar saya telepon suami saya dulu,” teringat suami yang mungkin sedang konsen kerja di kantornya saya mengurungkan niat menelponnya. Oh ya kenapa tidak telepon orang kargonya. Saya telepon tapi teleponnya tidak aktif. Lalu saya ingat WA terakhir dari suami yang mengirimkan nomor telepon orang kargo yang bertugas hari ini, nomor yang didapatnya dari costumer service kargo.

“Mas, ini saya yang tadi pagi telepon mau kirim barang ke Pangkalan Bun. Kok ongkirnya mahal ya 3.7 juta.”

“Hah! Ibu di mana? Ibu kena calo. Posisi ibu di mana? Ibu salah. Ibu batalkan saja, bawa kembali barangnya. Saya di gudang X (saya lupa nama gudangnya). Ibu keluar dari sana, ikuti jalan lurus lalu belok…dsb.”

Kekagetan dan kebingungan saya berubah menjadi marah, sangat marah dan kesal sampai tidak tahan mulut ini untuk tidak ngedumel, hahaha. “Dasar nugarelo!”

“Ayo Bang turun, ga jadi kirim di sini,” kata saya pada rekan. “Ini calo.”

Saya masih ngedumel menumpahkan kekesalan dan kebodohan diri sendiri sepanjang menuruni tangga. Sampai tiga orang dengan pakaian necis menoleh keheranan ke arah saya. Pakain necis ala pegawai gitu. Terus terbersit pertanyaan, ”Apa mereka pegawai resmi sini? Apa mereka tidak tahu itu calo-calo bebas berkeliaran.” Jelas-jelas di spanduk di parkiran tertulis dilarang memakai jasa calo. Lha kita yang awan dan pertama kali kesini mana tahu itu orang calo atau enggak, terlebih ada spanduk peringatan itu.

Melihat kami membawa barang menuju mobil lelaki yang tadi memberhentikan kami bertanya, ”Tidak jadi Bu?”

“Nggaklah ini mah calo, masa ongkir 3.7 juta, garelo sugan. Teu kira-kira nipu teh, harga jual barangnya saja cuma sejuta.”

“Kalau ongkirnya sejuta setengah Ibu mau?” Duh ini abang calo lugu atau oon sih. Yang pasti pengen nampol itu orang. Udah ketahuan penipu masih nyoba nipu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun