Mohon tunggu...
Rina R. Ridwan
Rina R. Ridwan Mohon Tunggu... Penulis - Ibu yang suka menulis

Pembelajar Di Sekolah Kehidupan Novel: Langgas (Mecca, 2018) Sulur-sulur Gelebah (One Peach Media, 2022) Kereta (Mecca, 2023) IG: rinaridwan_23

Selanjutnya

Tutup

Diary

Percakapan Kecil Ibu-ibu Muda

17 November 2024   10:29 Diperbarui: 17 November 2024   10:46 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Mata akan selalu melihat segala yang ingin dilihat, begitu juga telinga dan pikiran kita ketika mendengar atau berpikir tentang sesuatu yang menyenangkan. Mulut pun menyampaikan dipenuhi semerbak wangi bunga.

Begitulah yang terjadi pada pembicaraan ibu-ibu muda kompleks pada suatu sore,

"Enak lo bisa dapat lotre visa kerja di luar negeri. Saudaraku lolos, dan sampai sekarang tak pernah mau balik ke sini.  Gaji jauhlah dari di sini. Ibaratnya dia irit-irit di sana untuk bisa foya-foya  di sini. Belum lagi setiap kali ada ***phone terbaru,  dengan mudah berganti seperti ganti baju saja."

"Iya ya, aku juga terlintas melakukannya. Apalagi anak-anakku sudah empat. Aku sedang menguatkan mentalku menghadapi perceraian kami. Sambil mencari-cari lotre gratis kerja itu. siapa tahu nyangkut." Tita  seperti mendapat angin segar.

"Ajak aja anak-anakmu sekalian."

"Emang boleh? Aku inginnya stay sendiri dulu, baru nanti jika sudah siap akan bawa anak-anakku semua."

"Sekolah di sana maju lo."

"Iya ... tahu. Nanti biar anak-anak sama mamaku dulu. Setidaknya aku bisa kirim uang lebih selama belum bisa mengajak serta mereka tinggal di sana."

Percakapan pun semakin seru ketika salah satu dari mereka bercerita tentang temannya yang sudah menjadi warga negara di sana. Mata Tita yang sedari tadi berharap makin berbinar.

"Aku sarjana, bahasa Inggrisku juga aktif, umurku juga masih masuk usia produktif. Moga aja lolos  tahun depan."

Saat itulah seseorang yang banyak diam sejak awal memperbaiki duduknya, kemudian mulai bicara.

"Aku punya kakak yang malah menolak bekerja di luar negeri meski dia mendapat tawaran bertubi-tubi. Dia pintar, bukan hanya dalam akademis, juga pintar bergaul dengan penguasaan beberapa bahasa asing."

"Kenapa ditolak? Kan sayang ... itu kesempatan bagus yang belum tentu datang dua kali?'

"Lalu kakakmu bekerja di mana? Anaknya berapa? Dan tinggal di mana sekarang?"

"Kakak memilih bekerja di sini, di sebuah perusahaan asing yang memberi kesempatan dia untuk berkembang. Jadi dia yang lulusan S1 mendapat kesempatan mengambil S2 di luar negeri dari perusahaan tersebut. Gajinya cukuplah bahkan utuh ibaratnya, karena disertai dengan beragam tunjangan. Dari biaya transport, biaya perumahan, biaya melahirkan sampai tiga anak, kendaraan, sampai asuransi kesehatan internasional kelas naratama."

"Bisa begitu?"

"Bisalah. Kakakku pintar, jadi betul-betul dihargai di sana. Bahkan ketika hendak mengundurkan diri, mereka masih tak rela melepasnya. Mengira ingin kenaikan gaji sampai menawarkan gaji yang lebih fantastis."

"Kenapa resigned?"

"Karena sudah capek aja."

Tita masih berusaha mengunyah cerita tersebut, hingga dia bertanya,"Kenapa gak mau bekerja di luar negeri? Alasannya apa?"

"Yang pasti, dia tak mau kehilangan momen dengan kedua orang tua kami yang sudah tua. Tak mau jika ketinggalan info mereka sakit, apalagi sampai tak bisa menguburkan mereka ketika meninggal dunia. Hal yang banyak dialami oleh teman-temannya yang bekerja dan tinggal di negeri orang, yang cukup jauh tentunya. Ketika orang tuanya wafat, mereka tak bisa mengantar apalagi turut menguburkan sebagaimana kewajiban seorang anak. Hanya minta video call dianggap sudah cukup. Bagi kakak, orang tua tetaplah orang tua yang selalu ada dalam prioritas, sehebat apa pun prestasinya."

Semua diam.

"Bisa bayangkan. Bagaimana orang tua kita setelah kita dewasa, yang harusnya sudah waktunya beristiirahat, masih saja kita repotkan. Dari menitipkan anak, numpang tinggal sebelum punya rumah sendiri, sampai tempat kita mengeluh alias curhat ... lalu ketika sudah tua, kita tinggalkan hanya untuk kenyamanan diri sendiri. Paling banter kita berikan uang saja. Tidak perhatian, apalagi bertemu rutin yang sebenarnya juga menjadi pelipur lara mereka, tak cukup hanya menelpon ... kakak tak mau diperlakukajn seperti itu ketika dia sudah tua nanti oleh anak-anaknya."

"Tapi kan bisa diajak serta mereka ke luar negeri?"

"Iya kalau mau, kalau gak? Trus gimana dengan anaknya yang lain yang mungkin tak mampu untuk menjenguk mereka di sana. Belum lagi kemungkinan konflik dengan menantu dll."

Tita seperti tertampar. Bagaimana tidak. Dia dengan entengnya mengatakan akan menitipkan empat anaknya pada orang tuanya jika diterima kerja di negara lain. Dia sudah bertekad akan mengirimkan uang lebih pada mereka dan dia hanya memikirkan bagaimana nikmatnya punya banyak uang dan bisa membeli segala yang diinginkan. Dia tak berpikir bagaimana kedua orang tuanya akan capek merawat empat anak yang masih kecil, apalagi memikirkan mereka sakit ... bahkan bila meninggal dunia ketika dia sudah di negara yang untuk pulang pergi dari sini butuh waktu penerbangan sekitar 24 jam lebih.

"Kakak bilang, bila kedua orang tua sudah tiada, mungkin dia akan ringan langkahnya untuk pindah dan tinggal di negara lain yang jauh. Tetapi baginya hubungan anak dan orang tua itu tak tergantikan. Dan waktu yang hilang pun tak tergantikan. Dia tak mau kehilangan momen itu ...."

"Sekarang gimana kakak?"

"Alhamdulillah anak-anaknya sudah kelar sekolah. Semua lulusan universitas terbaik. Semua telah dibelikan rumah masing-masing. Ketika kakak wafat sampai sekarang, istrinya pun tak berkekurangan karena dia sudah persiapkan semua. Sepanjang hidup, setiap liburan, juga semua keluarganya diajak jalan ke beragam negeri. Kakak selalu katakan pada anak-anaknya, untuk menuntut ilmu, kita boleh mencari hingga ujung dunia. Tetapi untuk meninggalkan orang tua kita hanyan untuk segenggam dunia yang tak dibawa mati, pikir baik-baik."

"Bisa kaya begitu berarti gajinya besar dong."

"Relatif sih ukuran besar atau tidak. Kata kakakku, genggam dunia cukup di tangan, jangan di hati. Agar ketika lepas, kita tak terlalu kehilangan. Yang utama itu pintar dalam pengelolaan uang dan banyak bersyukur. Kakak tak pernah berhenti menolong siapa pun tanpa kecuali. Baik yang meminta pertolongan ataupun yang tidak meminta tetapi memang harus ditolong. Pada orang tua, tak pernah menyakiti dan selalu menghibur. Pulang kerja atau pulang dari luar negeri, selalu yang pertama dikunjungi adalah orang tua, bukan hanya diberi oleh-oleh, tapi juga diajak ngobrol lama dengan obrolan yang menyenangkan. Sangat memuliakan istrinya, dan tak pernah marah pada siapa pun."

Ibu-ibu mengheningkan cipta.

"Kekayaan tak melulu bisa didapatkan dari kerja, tetapi juga ridha orang tua. Betapa banyak orang kaya yang hidupnya hanya dipenuhi kepalsuan. Yang kekayaannya hanya dipakai untuk pamer, dan tak henti mengejar kekayaan hingga tak lagi berhati-hati akan halal haramnya. Sebagaimana peringatan 'manusia itu diberi gunung emas satu, pasti akan mencari gunung emas yang lain' yang memang terjadi. Tak ada syukurnya, hingga hartanya pun tak menjadi berkah."

Tita menunduk. Bayang wajah ibunya yang tak henti dilibatkan dalam setiap kesusahan hatinya, menjadi tempat penitipan anak-anaknya ketika dia bekerja juga ketika harus keluar kota. Belum lagi seperti sekarang, di mana dia telah terpisah tinggal dengan suaminya menjelang cerai. Dia merasa malu sendiri.

"Kita suka membayangkan segala kemudahan hanya dari satu cerita sukses yang sudah di sana. Padahal pada setiap kisah sukses pun selalu ada proses berliku. Kita selalu merasa siap dengan kesuksesan, tetapi lupa mempersiapkan diri pada perjalanan menuju ke sana. Bisa jadi kiita terseok, lalu menyalahkan keadaan. ... Jangan mudah silau pada cahaya yang belum Anda lihat sendiri."

Mereka manggut-manggut.

"Satu hal yang tak kalah penting ... Jika cara kita memperlakukan orang tua sebatas banyaknya uang yang kita beri atau kirimkan, jangan terkejut jika suatu hari nanti hubungan kita dengan anak-anak kita juga sebatas transaksional."

Dan semua keriuhan tadi menciut dalam senyap.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun