"Aku punya kakak yang malah menolak bekerja di luar negeri meski dia mendapat tawaran bertubi-tubi. Dia pintar, bukan hanya dalam akademis, juga pintar bergaul dengan penguasaan beberapa bahasa asing."
"Kenapa ditolak? Kan sayang ... itu kesempatan bagus yang belum tentu datang dua kali?'
"Lalu kakakmu bekerja di mana? Anaknya berapa? Dan tinggal di mana sekarang?"
"Kakak memilih bekerja di sini, di sebuah perusahaan asing yang memberi kesempatan dia untuk berkembang. Jadi dia yang lulusan S1 mendapat kesempatan mengambil S2 di luar negeri dari perusahaan tersebut. Gajinya cukuplah bahkan utuh ibaratnya, karena disertai dengan beragam tunjangan. Dari biaya transport, biaya perumahan, biaya melahirkan sampai tiga anak, kendaraan, sampai asuransi kesehatan internasional kelas naratama."
"Bisa begitu?"
"Bisalah. Kakakku pintar, jadi betul-betul dihargai di sana. Bahkan ketika hendak mengundurkan diri, mereka masih tak rela melepasnya. Mengira ingin kenaikan gaji sampai menawarkan gaji yang lebih fantastis."
"Kenapa resigned?"
"Karena sudah capek aja."
Tita masih berusaha mengunyah cerita tersebut, hingga dia bertanya,"Kenapa gak mau bekerja di luar negeri? Alasannya apa?"
"Yang pasti, dia tak mau kehilangan momen dengan kedua orang tua kami yang sudah tua. Tak mau jika ketinggalan info mereka sakit, apalagi sampai tak bisa menguburkan mereka ketika meninggal dunia. Hal yang banyak dialami oleh teman-temannya yang bekerja dan tinggal di negeri orang, yang cukup jauh tentunya. Ketika orang tuanya wafat, mereka tak bisa mengantar apalagi turut menguburkan sebagaimana kewajiban seorang anak. Hanya minta video call dianggap sudah cukup. Bagi kakak, orang tua tetaplah orang tua yang selalu ada dalam prioritas, sehebat apa pun prestasinya."
Semua diam.