Hari itu, Bestari berkunjung ke rumah saudara Fulana yang baru saja meninggal. Namanya Nuri, seperti nama burung. Tetapi dia tidak seramai burung. Bahkan tak sedikit yang menganggapnya sedikit misterius. Prasangka tak jarang mengerat kebenaran. Nuri tak memiliki teman sebanyak kakaknya.
Bukan karena dia tak pandai bergaul, tetapi dia seorang introver yang paling introver. Membatasi dirinya pada banyak hal, salah satunya adalah membatasi pergaulan. Salah satu sahabat Fulana sempat mengatakan padanya, bila dia dan Fulana perbedaannya bagai bumi dan langit. Nuri hanya tersenyum.
Nuri ikut memandikan mayat sang kakak. Dia menyaksikan segala proses tanpa suara, bagaimana dunia berlaku atas apa yang memang ditanam setiap orang. Pada tanya yang diajukan, dia memilih diam sebagai jawaban. Berbicara dengannya penuh dengan kedalaman yang tak jarang disalah pahami.
"Benarkah kau sering berbeda pendapat dengan Fulana?"
"Berbeda pendapat ... adakah orang yang selalu bersetuju atas segalanya, Bestari?"
"Tentu saja tidak."
"Lalu kenapa kau tanyakan itu?"
"Untuk memastikan apa yang banyak kudengar." Nuri menatap Bestari lekat.
"Apakah kamu sedih kehilangan kakakmu, Nuri?"
"Sampai saat ini, aku masih tak percaya sepenuhnya dia telah tiada."
"Why?"