Sekali yang tak terlupakan, aku melihat kekesalannya saat seorang penipu mendatangi sang ayah yang sedang sakit. Memaksa membayar uang untuk fogging yang tak berizin. Dia baru saja pulang dari kerja, langsung mengusir orang tadi, bahkan mencari si penanggung jawab yang langsung kabur saat dihampiri.
"Jangan sekali-kali mengganggu ayah saya!"nada geramnya membuat pucat wajah sang penipu.
Sempat aku merasa lebih baik darinya mengingat label janda tiga kali lekat di dirinya. Perlahan semua tergerus sendiri bersama malu yang muncul di hati. Terlebih saat dia tahu aku terkena kanker, dia tunjukkan siapa dirinya. Teman bersuka yang kuanggap akan abadi, satu persatu pergi tanpa pamit. Tidak dengannya. Tempat tinggal kami yang berjauhan tak surutkan langkahnya menemaniku saat operasi, saat kemo, juga membersamaiku di hari-hari terburuk.
Dia usap kulitku yang terbakar dengan salep tanpa rasa rikuh, dan yang membuat leleh air mataku, saat dia ikut menggundul rambutnya saat melihat rambutku luruh akibat kemo.
"Kamu ini sudah gendeng apa? Ngapain gundul?"tanyaku.
"Biar kamu ada temannya jadi tuyul. Rambut masih bisa tumbuh, Tan. Harapan juga, harus digantungkan setinggi mungkin untuk kesembuhanmu,"jawabnya sambil tertawa kecil.
Tak sekali pun, kulihat dia sakit selain mungkin luka di batinnya. Dia terus bergerak, bukan hanya untuk bekerja, juga berbuat sesuatu untuk sekitarnya. Benar kata dia, sendiri atau bersama, pergerakan itu tak boleh berhenti. Pada hidup yang tak henti berputar, tak henti terjadi pengrusakan, kita sendiri tak boleh berhenti bergerak, apalagi turut menjadi perusaknya.
Perempuan kuat dan tahu bagaimana menjaga keperempuanannya itu bernama Ajeng. Teman yang tak pernah meninggalkanku. Yang kokoh menjaga apa yang diyakininya. Bahwa diri kitalah yang paling mampu menjaga hidupnya lentera perjalanan panjang menuju keabadian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H