Pintu kamarku terbuka perlahan. Dia berdiri di sana sambil melambaikan tangan. Aku tersenyum melihat wajah yang tak lekang kecantikannya. Wajah yang sudah kuakrabi sejak kecil, ketika kami mendaftar di TK yang sama. Yang tak selalu tersenyum, apalagi tertawa, namun punya kekuatan tak terkalahkan. Baik oleh usia, pun oleh kehidupan yang sudah melintas sepanjang hampir enam dasa warsa.
"Masuklah,"pintaku.
"Aku takut kamu tertular. Aku belum swab test,"jawabnya lugas, sebagaimana kebiasaannya. Tak luntur oleh badai teguran dan penilaian, bila saja dia sedikit lembut bicara, apalagi tudingan ketus yang kerap diterima. "Kangen aku, Tan,"kembali terdengar suara altonya. Aku tersenyum menatap satu-satunya perempuan yang tak pernah berhenti bersahabat denganku. Perempuan yang mengenalku dengan baik, sementara aku lebih banyak dikejutkan oleh karakter tersembunyinya.
Dia bukan hanya cantik raga, juga hatinya. Tak pernah menyimpan sampah pada hati dan pikiran. Pada badai dia berlindung, juga mempersiapkan diri, walau tak selalu berhasil selamat tanpa luka. Pada luka, dia tak menjerit, apalagi mengeluhkannya. Dia tahu bagaimana mengobati dengan baik.
"Kemarin kemo yang keempat kan?"dia kembali bicara di tempatnya. Aku mengangguk. Ah ... pandemi membuat semua berjarak. Juga membuat saling mencurigai tanpa kata. Menebar ketakutan tak terelakkan, bersama korban yang terus berjatuhan tanpa mengenal status sosial.
"Kamu kudu makan yang banyak, biar tetap kuat, Tan," ada kalanya dia cerewet sebagaimana jutaan perempuan lain di dunia. Seperti baru dia lakukan. "Lihat tuh, kakimu kecil banget. Kamu kurus sekali, Tan,"terus saja dia nyerocos sambil berdiri.
"Ya ... ya ... ya ...,"kujawab begitu saja."kamu kok sudah dandan gitu mau kemana?"kucoba alihkan pembicaraan.
"Ada undangan kawinan anak teman SMA ku,"jawabnya sambil mematut diri, membuatku menahan tawa. Dia bukanlah perempuan kemayu, hingga bila dia melakukan hal perempuan banget terlihat gagu.
"Gimana, kerudungku sudah bener kan, Tan?"tanyanya. Ya, dia suka asal saja memakai kerudung, tak peduli di keseharian, juga untuk pesta. Saat aku sehat, aku suka sekali mendandani serta merapikan kerudungnya. Dia perempuan yang tak butuh banyak saputan make-up. Tak begitu suka dengan tebalnya bedak dengan segala tetek bengeknya. Baginya, cairan lekat, taburan, juga warna riasan yang berlebih membuatnya gatal.
"Lepasin gih, miringkan yang ada kerutan itu. Minta peniti sama Lisa,"aku masih saja gatal ingin merapikannya walau mengangkat tubuhku saja aku tak mampu.
"OK,"jawabnya sebelum menghilang sekejap sebelum kembali membawa apa yang kupinta bersama Lisa. Tetap di luar kamar, dia mulai melakukan apa yang kuperintahkan, bersama cermin yang dipegang adikku.
"Begini?"tanyanya sambil menunjukkan pasmina yang sudah diubah. Aku mengangguk sebelum kembali memberinya perintah,"Lilit sekali kedua ujungnya. Lalu yang berenda kau lebarkan di depan dadamu, jepit dengan bros, yang di dalam penitiin biar gak lepas."
Dengan bantuan Lisa dia melakukan apa yang kuminta. Saat selesai, dia tertawa tanpa suara, begitu juga aku. Dia terlihat lebih cantik dan rapi. Bisa kudengar lamat-lamat suara ibu yang memanggilnya.
"Thank you, Tan. Sekarang aku harus pergi, sudah dijemput. Kamu makan ya. Jangan mikir yang gak perlu dipikir," dia memberi cium jauh ke arahku sebelum menghilang. Kalimat 'jangan mikir yang gak perlu dipikir' selalu menohokku. Dia satu-satunya teman yang paling bisa membaca gerak hatiku. Juga yang mampu membuatku bicara apa saja yang tak mampu kubicarakan dengan siapa pun.
Saat pintu kamar kembali tertutup, terbuka pintu kenangan, saat aku tergagap melihat segala yang dia jalani. Mahligai perkawinannya putus di tengah jalan, bukan hanya sekali, bahkan sampai tiga kali, tak membuatnya terpuruk sama sekali. Dia menganggap semua adalah perjalanan yang memang harus dilalui. Tak terlihat gurat sedih sedikit pun. apalagi ketakutan-ketakutan yang kerap mengiringi para janda baru. Riwa-riwi di pengadilan agama sendiri, menghadapi sidang demi sidang, juga menghadapi keputusan tanpa ingin ditemani siapa pun.
Bukan hanya suami, dua anaknya, semua dirampok oleh keluarga mereka. Mereka disembunyikan, dibawa ke luar negeri saat dia hendak membawa serta sesuai putusan. Bagaimana dia dihadang, juga dilarang menemui mereka lagi setelah jatuh talak dari pengadilan. Dia memang meneteskan air mata, tanpa harus runtuh di hari-hari berikutnya.
Yang tak kalah menyakitkan, dia juga dibuang orang tuanya saat nekat menikah dengan suami kedua yang tak disetujui. Dia hadapi, hingga akhirnya dia diterima kembali. Bahkan dia merawat keduanya hingga akhir hidup tanpa mengeluh satu pata kata pun.
Ibarat bangunan, dia sudah dibombardir dari depan, belakang, samping, juga dari dalam, namun dia tak runtuh. Dia pemilik pondasi kokoh. Perlahan, segala kerusakan dia perbaiki tanpa harus mengangkat jari telunjuknya pada siapa pun. Hingga suatu hari, tak tahan aku untuk tidak menanyakan kabar hatinya, yang dijawab 'sedang dalam perbaikan' sambil tertawa.
Tak pernah dia mengatakan 'baik-baik saja' sebagaimana kebanyakan orang lakukan. Seperti diriku, setiap kali ditanya kapan menikah, atau apakah tak takut hidup sendiri terus. Pertanyaan yang tak pernah dia ajukan padaku. Hingga suatu hari, dia kutanya bila berada di posisiku. Usai mengembuskan napasnya, dia menjawab tenang.
"Sendiri suka sekali dimaknai sebagai hal yang menakutkan. Suka diidentikkan dengan sepi. Banyak yang lupa, bila kita lahir sendiri, kelak mati juga sendiri. Kita tak punya kuasa menghentikan juga mendiktekan takdir. Dia tahu apa yang terbaik buat kita. Ketika orang bertanya sembari memberi label perawan tua, janda muda, dan entah apa lagi, anggap saja dia sedang lupa diri, Tan. Kamu tak perlu ambil hati, apalagi menyampah kenelangsaan. Apa yang terjadi pada diri kita, juga bisa menimpa orang lain suatu hari nanti. Tetaplah memandang kehidupan sebagai sebuah sekolah yang tak henti memberi pelajaran pada setiap langkah apa pun yang kita ambil atau takdir yang menyertai. Tak perlu takut sepanjang kita mengenali diri, meyakini segala tindakan. Perjalanan hidup tak boleh terhenti hanya karena label yang diberi tanpa pernah kita minta."
Pembicaraan terpanjang yang pernah kulakukan bersamanya. Dia memilih banyak diam di saat yang lain berebut bicara hanya untuk dianggap ada. Dia memilih diam ketika ribuan komentar mengiringi setiap kejadian di hidupnya. Tudingan demi tudingan hanya dijawab dengan senyum tipis. Bukan dia penakut, dia perempuan yang tak suka mengumbar amarah.
Sekali yang tak terlupakan, aku melihat kekesalannya saat seorang penipu mendatangi sang ayah yang sedang sakit. Memaksa membayar uang untuk fogging yang tak berizin. Dia baru saja pulang dari kerja, langsung mengusir orang tadi, bahkan mencari si penanggung jawab yang langsung kabur saat dihampiri.
"Jangan sekali-kali mengganggu ayah saya!"nada geramnya membuat pucat wajah sang penipu.
Sempat aku merasa lebih baik darinya mengingat label janda tiga kali lekat di dirinya. Perlahan semua tergerus sendiri bersama malu yang muncul di hati. Terlebih saat dia tahu aku terkena kanker, dia tunjukkan siapa dirinya. Teman bersuka yang kuanggap akan abadi, satu persatu pergi tanpa pamit. Tidak dengannya. Tempat tinggal kami yang berjauhan tak surutkan langkahnya menemaniku saat operasi, saat kemo, juga membersamaiku di hari-hari terburuk.
Dia usap kulitku yang terbakar dengan salep tanpa rasa rikuh, dan yang membuat leleh air mataku, saat dia ikut menggundul rambutnya saat melihat rambutku luruh akibat kemo.
"Kamu ini sudah gendeng apa? Ngapain gundul?"tanyaku.
"Biar kamu ada temannya jadi tuyul. Rambut masih bisa tumbuh, Tan. Harapan juga, harus digantungkan setinggi mungkin untuk kesembuhanmu,"jawabnya sambil tertawa kecil.
Tak sekali pun, kulihat dia sakit selain mungkin luka di batinnya. Dia terus bergerak, bukan hanya untuk bekerja, juga berbuat sesuatu untuk sekitarnya. Benar kata dia, sendiri atau bersama, pergerakan itu tak boleh berhenti. Pada hidup yang tak henti berputar, tak henti terjadi pengrusakan, kita sendiri tak boleh berhenti bergerak, apalagi turut menjadi perusaknya.
Perempuan kuat dan tahu bagaimana menjaga keperempuanannya itu bernama Ajeng. Teman yang tak pernah meninggalkanku. Yang kokoh menjaga apa yang diyakininya. Bahwa diri kitalah yang paling mampu menjaga hidupnya lentera perjalanan panjang menuju keabadian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H