"Begini?"tanyanya sambil menunjukkan pasmina yang sudah diubah. Aku mengangguk sebelum kembali memberinya perintah,"Lilit sekali kedua ujungnya. Lalu yang berenda kau lebarkan di depan dadamu, jepit dengan bros, yang di dalam penitiin biar gak lepas."
Dengan bantuan Lisa dia melakukan apa yang kuminta. Saat selesai, dia tertawa tanpa suara, begitu juga aku. Dia terlihat lebih cantik dan rapi. Bisa kudengar lamat-lamat suara ibu yang memanggilnya.
"Thank you, Tan. Sekarang aku harus pergi, sudah dijemput. Kamu makan ya. Jangan mikir yang gak perlu dipikir," dia memberi cium jauh ke arahku sebelum menghilang. Kalimat 'jangan mikir yang gak perlu dipikir' selalu menohokku. Dia satu-satunya teman yang paling bisa membaca gerak hatiku. Juga yang mampu membuatku bicara apa saja yang tak mampu kubicarakan dengan siapa pun.
Saat pintu kamar kembali tertutup, terbuka pintu kenangan, saat aku tergagap melihat segala yang dia jalani. Mahligai perkawinannya putus di tengah jalan, bukan hanya sekali, bahkan sampai tiga kali, tak membuatnya terpuruk sama sekali. Dia menganggap semua adalah perjalanan yang memang harus dilalui. Tak terlihat gurat sedih sedikit pun. apalagi ketakutan-ketakutan yang kerap mengiringi para janda baru. Riwa-riwi di pengadilan agama sendiri, menghadapi sidang demi sidang, juga menghadapi keputusan tanpa ingin ditemani siapa pun.
Bukan hanya suami, dua anaknya, semua dirampok oleh keluarga mereka. Mereka disembunyikan, dibawa ke luar negeri saat dia hendak membawa serta sesuai putusan. Bagaimana dia dihadang, juga dilarang menemui mereka lagi setelah jatuh talak dari pengadilan. Dia memang meneteskan air mata, tanpa harus runtuh di hari-hari berikutnya.
Yang tak kalah menyakitkan, dia juga dibuang orang tuanya saat nekat menikah dengan suami kedua yang tak disetujui. Dia hadapi, hingga akhirnya dia diterima kembali. Bahkan dia merawat keduanya hingga akhir hidup tanpa mengeluh satu pata kata pun.
Ibarat bangunan, dia sudah dibombardir dari depan, belakang, samping, juga dari dalam, namun dia tak runtuh. Dia pemilik pondasi kokoh. Perlahan, segala kerusakan dia perbaiki tanpa harus mengangkat jari telunjuknya pada siapa pun. Hingga suatu hari, tak tahan aku untuk tidak menanyakan kabar hatinya, yang dijawab 'sedang dalam perbaikan' sambil tertawa.
Tak pernah dia mengatakan 'baik-baik saja' sebagaimana kebanyakan orang lakukan. Seperti diriku, setiap kali ditanya kapan menikah, atau apakah tak takut hidup sendiri terus. Pertanyaan yang tak pernah dia ajukan padaku. Hingga suatu hari, dia kutanya bila berada di posisiku. Usai mengembuskan napasnya, dia menjawab tenang.
"Sendiri suka sekali dimaknai sebagai hal yang menakutkan. Suka diidentikkan dengan sepi. Banyak yang lupa, bila kita lahir sendiri, kelak mati juga sendiri. Kita tak punya kuasa menghentikan juga mendiktekan takdir. Dia tahu apa yang terbaik buat kita. Ketika orang bertanya sembari memberi label perawan tua, janda muda, dan entah apa lagi, anggap saja dia sedang lupa diri, Tan. Kamu tak perlu ambil hati, apalagi menyampah kenelangsaan. Apa yang terjadi pada diri kita, juga bisa menimpa orang lain suatu hari nanti. Tetaplah memandang kehidupan sebagai sebuah sekolah yang tak henti memberi pelajaran pada setiap langkah apa pun yang kita ambil atau takdir yang menyertai. Tak perlu takut sepanjang kita mengenali diri, meyakini segala tindakan. Perjalanan hidup tak boleh terhenti hanya karena label yang diberi tanpa pernah kita minta."
Pembicaraan terpanjang yang pernah kulakukan bersamanya. Dia memilih banyak diam di saat yang lain berebut bicara hanya untuk dianggap ada. Dia memilih diam ketika ribuan komentar mengiringi setiap kejadian di hidupnya. Tudingan demi tudingan hanya dijawab dengan senyum tipis. Bukan dia penakut, dia perempuan yang tak suka mengumbar amarah.