Mohon tunggu...
Rina R. Ridwan
Rina R. Ridwan Mohon Tunggu... Penulis - Ibu yang suka menulis

Pembelajar Di Sekolah Kehidupan Novel: Langgas (Mecca, 2018) Sulur-sulur Gelebah (One Peach Media, 2022) Kereta (Mecca, 2023) IG: rinaridwan_23

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Zaman Now", Apakah Juga Zaman Baper?

28 Februari 2018   19:22 Diperbarui: 28 Februari 2018   19:49 933
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Zaman sekarang, sepertinya bukan hanya disebut zaman now, namun juga zaman 'baper'. Bagaimana tidak? Karena bukan hanya remaja yang suka baper, namun juga dari kalangan yang usianya sudah dewasa. Sengaja saya beri kata usia dewasa, karena usia berapapun tak selalu berbanding lurus dengan kedewasaan seseorang.

Terjadinya banyak kehebohan, semuanya juga banyak berawal dari sikap baper ini. Sebuah sikap yang sebenarnya menandakan ketidak matangan seseorang secara emosional. Sebagai perempuan, biasanya banyak dianggap sebagai pemilik terbanyak sifat baper ini. Namun yang saya lihat, priapun tak kalah banyaknya yang suka baper saat ini.

Di media sosial, seperti yang banyak diketahui, banyak yang hanya bisa copy paste tulisan orang lain. Yang terburuk, mereka tak mau tahu bahkan tak pernah mencantumkan sumber ataupun nama penulis awalnya. Ketika diingatkan, eh baper! Marah dan mencoba berargumentasi bahwa ia dapat dari lapak sebelah,*entah sebelah mana dan sudah banyak yang copy paste hingga dianggap bahwa itu tak ada masalah. Argumentasi seorang yang sedang marah, tak akan ada benarnya.

Yang mereka tak sadar, tanpa menyebutkan narasumber, bisa saja itu berita hoax, namun diteruskan dan diteruskan. Bisa juga mereka dituntut bila turut menyebarkannya. Bila berita yang di copy paste mengandung unsur dusta dan kesesatan, sama artinya mereka menebar dosa jariyah.

Sayangnya baper selalu didulukan hingga tak lagi mampu berpikir jernih.

Baper, terbawa perasaan, kata lain dari sensitif hingga mudah sekali tersinggung oleh perkataan atau tulisan apapun. Termasuk status di media sosial yang walau bukan ditujukan untuk dirinya, namun karena baper akut, semua dianggap sebaliknya.

Kebalikan baper, bisa jadi manusia apatis alias cuek. Manusia yang bahkan disindir dengan cara apapun, dia tak terpengaruh dan tak merasakannya sebagai serangan pada dirinya. Mereka tetap tenang dan tampak santai hingga yang menyindir atau mencoba menyerangnya jadi sebal dan baper.

Sahabat saya mengatakan bahwa sebenarnya baper itu bukan hanya penyakit orang yang sensitif, namun juga penyakit orang yang sombong. Karena orang yang sombong itu merasa dirinya sempurna hingga ada yang mengatakan kekurangannya, atau kritik sekecil apapun, mereka akan tersinggung. Bahkan tanpa berkata apapun, seperti saat mereka tak disapa atau diajak bicara saja mereka juga bisa tersinggung dan mulai berprasangka buruk. Baper sangat berkorelasi dengan prasangka, tentu saja, demikian tambahnya.

Kita tahu bahwa sombong punya definisi menolak kebenaran. Menolak kebenaran bahwa dirinya tak sempurna dengan anti pada kritik. Anti itulah yang membuat baper. Banyak terjadi orang yang mudah baper juga mudah jatuh dalam sifat dendam. Semua orang yang mengingatkannya ataupun mengkritiknya dia 'catat' dalam hati dan pikirannya sampai kapanpun.

Jika memang baper banyak merugikan, kenapa mesti dijadikan kebiasaan?

Dalam perjuangan pergulatan hidup ini, pemenang adalah orang yang mampu memenangi segala peperangan yang dia alami. Jika baper jadi kebiasaan dan pegangan hidupnya, bisa jadi ia tak akan memenangkan apapun. Ia hanya berkutat dengan perasaannya sendiri sepanjang hidupnya. Sementara dalam kehidupan ini semua butuh ketegaran, butuh keberanian dan butuh keuletan. Baper hanya akan menghambat langkah maju yang sebenarnya mampu dilakukan oleh setiap orang.

Mari sedikit saja kita perhatikan bagaimana kelapangan hati selalu dibutuhkan.  Sebagai contoh kecil, untuk menjadi seorang penulis, harus punya kedisiplinan menulis setiap hari tanpa boleh beralasan apapun. Belum lagi saat hendak menerbitkan buku, suka atau tidak ia harus melewati 'saran dan kritik' dari editor yang tak jarang cukup keras dan menantang kesabaran diri. Bahkan setelah terbitpun, kritikan dari para pembacanya tak mungkin bisa dihindarkan untuk dihadapi.

Saat test psikologi dalam penerimaan pegawai juga butuh pekerja yang tangguh. Pertanyaan-pertanyaan yang cukup menjebak akan melahap setiap jawaban yang terjebak. Adversity quotient harus dimiliki. Bukan pekerja yang mudah baper dan larut dalam ke'baper'annya tanpa bisa menyelesaikan apapun. Jika menyelesaikan masalah dalam dirinya sendiri saja tak punya kemampuan, bagaimana menyelesaikan masalah di luar dirinya yang pasti akan ia hadapi.

Kita sering melihat bagaimana seorang petinju saat akan bertanding, akan melalui perang urat syaraf. Bayangkan sendiri bila sebagai petarung, ia terbawa perasaannya. Ia akan emosional dan akan menghabiskan tenaganya untuk lampiaskan emosinya tersebut yang tentu akan merugikan dirinya sendiri.

Menjadi pesohorpun, tak akan lepas dari segala kritikan para penggemar dan pembencinya. Lihat bagaimana segala berita yang ada. Berapa banyak yang terbawa perasaannya pada kritik yang tak jarang berakhir pada pelaporan pada pihak yang berwajib. Menjadi pesohor dalam bidang apapun, bersiaplah untuk menerima konsekuensi terburuk, bukan sekedar siap menerima puja-puji.

Kita semua tahu, bahwa kita tak akan pernah mampu mengendalikan cara berpikir siapapun. Menjadi penggemar kita hari ini, esok bisa jadi pembenci utama kita. Manusia bisa berubah kapanpun. Bisa menjadi apa saja di hari ini dan esoknya. Karena hidup adalah pergerakan, sementara mati adalah berhentinya pergerakan tersebut.

Sepanjang ada kehidupan, selalu akan terjadi gejolak, diantara kata 'dua'. Kecintaan dan kebencian, kewarasan dan kegilaan dan segala yang mengikutinya. Terus membesarkan hati, menyedikitkan bicara yang tak bermanfaat, rajin menjenguk diri sendiri, berani bercermin dalam ketelanjangan diri, serta memahami makna prioritas, terus berprasangka baik, maka akan nikmat hidup ini. InsyaaAllah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun