Zaman sekarang, sepertinya bukan hanya disebut zaman now, namun juga zaman 'baper'. Bagaimana tidak? Karena bukan hanya remaja yang suka baper, namun juga dari kalangan yang usianya sudah dewasa. Sengaja saya beri kata usia dewasa, karena usia berapapun tak selalu berbanding lurus dengan kedewasaan seseorang.
Terjadinya banyak kehebohan, semuanya juga banyak berawal dari sikap baper ini. Sebuah sikap yang sebenarnya menandakan ketidak matangan seseorang secara emosional. Sebagai perempuan, biasanya banyak dianggap sebagai pemilik terbanyak sifat baper ini. Namun yang saya lihat, priapun tak kalah banyaknya yang suka baper saat ini.
Di media sosial, seperti yang banyak diketahui, banyak yang hanya bisa copy paste tulisan orang lain. Yang terburuk, mereka tak mau tahu bahkan tak pernah mencantumkan sumber ataupun nama penulis awalnya. Ketika diingatkan, eh baper! Marah dan mencoba berargumentasi bahwa ia dapat dari lapak sebelah,*entah sebelah mana dan sudah banyak yang copy paste hingga dianggap bahwa itu tak ada masalah. Argumentasi seorang yang sedang marah, tak akan ada benarnya.
Yang mereka tak sadar, tanpa menyebutkan narasumber, bisa saja itu berita hoax, namun diteruskan dan diteruskan. Bisa juga mereka dituntut bila turut menyebarkannya. Bila berita yang di copy paste mengandung unsur dusta dan kesesatan, sama artinya mereka menebar dosa jariyah.
Sayangnya baper selalu didulukan hingga tak lagi mampu berpikir jernih.
Baper, terbawa perasaan, kata lain dari sensitif hingga mudah sekali tersinggung oleh perkataan atau tulisan apapun. Termasuk status di media sosial yang walau bukan ditujukan untuk dirinya, namun karena baper akut, semua dianggap sebaliknya.
Kebalikan baper, bisa jadi manusia apatis alias cuek. Manusia yang bahkan disindir dengan cara apapun, dia tak terpengaruh dan tak merasakannya sebagai serangan pada dirinya. Mereka tetap tenang dan tampak santai hingga yang menyindir atau mencoba menyerangnya jadi sebal dan baper.
Sahabat saya mengatakan bahwa sebenarnya baper itu bukan hanya penyakit orang yang sensitif, namun juga penyakit orang yang sombong. Karena orang yang sombong itu merasa dirinya sempurna hingga ada yang mengatakan kekurangannya, atau kritik sekecil apapun, mereka akan tersinggung. Bahkan tanpa berkata apapun, seperti saat mereka tak disapa atau diajak bicara saja mereka juga bisa tersinggung dan mulai berprasangka buruk. Baper sangat berkorelasi dengan prasangka, tentu saja, demikian tambahnya.
Kita tahu bahwa sombong punya definisi menolak kebenaran. Menolak kebenaran bahwa dirinya tak sempurna dengan anti pada kritik. Anti itulah yang membuat baper. Banyak terjadi orang yang mudah baper juga mudah jatuh dalam sifat dendam. Semua orang yang mengingatkannya ataupun mengkritiknya dia 'catat' dalam hati dan pikirannya sampai kapanpun.
Jika memang baper banyak merugikan, kenapa mesti dijadikan kebiasaan?
Dalam perjuangan pergulatan hidup ini, pemenang adalah orang yang mampu memenangi segala peperangan yang dia alami. Jika baper jadi kebiasaan dan pegangan hidupnya, bisa jadi ia tak akan memenangkan apapun. Ia hanya berkutat dengan perasaannya sendiri sepanjang hidupnya. Sementara dalam kehidupan ini semua butuh ketegaran, butuh keberanian dan butuh keuletan. Baper hanya akan menghambat langkah maju yang sebenarnya mampu dilakukan oleh setiap orang.