Saya baru sadar betapa teman saya itu mengatakan kebenaran adanya. Saya memang salah dan abai pada ibu karena kepatuhan saya pada istri dan mertua saya. Begitu cintanya saya pada istri hingga takut kehilangannya bila saya tak patuh padanya. Sungguh, kedunguan yang luar biasa sebagai anak dari seorang ibu yang baik. Istrilah yang selama ini jadi imam di keluarga karena dia yang memutuskan segalanya. Dan itu terjadi juga karena kebodohan saya membiarkannya.
Hampir semua orang mengatakan bahwa ini semua akibat dosa saya mengabaikan ibu kandung saya, termasuk kakak dan adik saya. Sudah beruntung saya, karena kakak masih mau menampung anak saya. Sementara saya bahkan untuk pulang saja tak punya ongkos. Saya tidur disebuah gudang perusahaan yang sudah kosong. Beralas tikar tua seadanya. Makanpun kadang diberi satpam yang berjaga disana.
Saya tak lagi tahu bagaimana meminta maaf pada ibu yang sudah terkubur lama. Saya juga tak lagi tahu bagaimana saya hadapi hari-hari didepan. Semua tampak buntu. Semua tampak gelap. Bahkan saat saya ingin belajar agama, seperti ada penghalang yang luar biasa. "
Sepanjang bercerita, entah berapa kali dia mengusap air matanya, hingga usaipun masih basah pipinya. Â Tubuh gempalnya telah hilang, tinggal tulang berbalut kulit. Wajah tampannya telah berubah jadi kuyuh dan tua. Kulit bersihnya telah legam.
Saya tak mampu berkata apapun. Karena saya juga seorang ibu dari anak yang semuanya lelaki. Saya tahu betul rasanya diabaikan anak yang kita sayang itu sakitnya luar biasa. Dan saya juga tahu betapa diam itu bagi seorang ibu memang harus dilakukan karena takut mulut kita tak terkontrol dan menjadi kutukan buat anak sendiri. Baru saya sadari betapa agungnya seorang ibu. Tanpa bersuarapun kesedihannya di dengar Allah. Menyakitinya seperti mengundang kegelapan hidup.
Ingatlah selalu wahai lelaki, ibumu diatas istrimu! Jangan butakan rasa cintamu pada kebenaran yang hakiki.
Ibumu.. Ibumu.. Ibumu.. baru ayahmu.