Mohon tunggu...
Rina R. Ridwan
Rina R. Ridwan Mohon Tunggu... Penulis - Ibu yang suka menulis

Pembelajar Di Sekolah Kehidupan Novel: Langgas (Mecca, 2018) Sulur-sulur Gelebah (One Peach Media, 2022) Kereta (Mecca, 2023) IG: rinaridwan_23

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Surga Itu Kau Abaikan

23 Desember 2017   13:46 Diperbarui: 23 Desember 2017   13:54 723
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tak lama setelah ibu saya wafat, kurang lebih dua tahun sesudahnya, kehidupan saya mulai berubah. Istri tiba-tiba sakit serius yang butuh banyak dana untuk berobat. Segala proyek mulai ribet, sementara tak satupun yang mau merawat istri selain saya. Anak-anak saya tetap sibuk dengan kuliah dan kegiatannya. Saya yang memang tak tegaan, betul-betul tak mampu marah melihat semuanya sibuk sendiri.

Sementara istri yang terlanjur suka dengan pujian sebagai keluarga harmonis dan ideal, tak pernah mau dirawat diruang selain VIP. Padahal sekali berobat bisa cukup lama. Karena proyek yang makin ribet, otomatis segalanya mulai seret. Satu persatu asset kami jual. Masih berlabel gengsi, istri tetap minta dirawat di VIP. Hingga akhirnya saya yang sudah 'ga enak hati' pada keluarga sendiri, terlibat hutang dengan rentenir. Taruhannya rumah kami satu-satunya yang tersisa, karena yang dua sudah terjual.

Seorang kawan lama sempat memberitahu pengobatan herbal pada seorang ahli, sayangnya sudah terlambat. Sehari setelah dikunjungi ahli herbal itu, istri saya wafat. Memang, keluarga saya datang melayat, tanpa rasa, sebagai basa-basi. Sementara itu saya diberi batas waktu 6 bulan saja untuk melunasi hutang oleh sang rentenir. Jika tidak, maka rumah itu akan jadi miliknya. Sementara ada lagi hutang ditempat lain yang juga menunggu pelunasannya.

Dalam keadaan terombang-ambing, seorang kawan lama banyak menasehati saya untuk kembali pada Allah. Saya yang memang selama ini sibuk dengan dunia, tak pernah menggubrisnya. Diapun berhenti menasehati saya setelah saya bentak dia.

Saya masih merasa yakin akan bisa meneruskan proyek dan mendapat proyek baru dengan pengalaman saya selama puluhan tahun. Sayangnya, semua tampak buntu adanya. Tak seorangpun yang peduli atau kasihan pada saya. Entah bagaimana dunia yang dulunya ramah, seperti tak lagi mengenali saya. Tentu saja akhirnya saya terusir dari rumah yang sudah saya tinggali selama hampir seperempat abad. Mertua saya kembalikan kepada anak lelakinya. Saya hidup dengan memaksakan diri terus berhutang karena ada dua anak saya yang terus merengek lanjutkan kuliah karena gengsi.

Akhirnya saya jatuh dalam situasi yang tak terbayangkan. Anak-anak diambil kakak saya, dan saya pergi ke kota lain mencari peluang proyek yang mungkin ada untuk saya. Namun hingga satu tahun saya terlunta-lunta dan hidup dalam belas kasihan orang, bahkan untuk makanpun saya tak mampu.

Saya mencari teman yang dulu menasehati saya untuk kembali ke Allah. Namun dia seperti menghilang, dan sungguh saya sangat menyesalinya. Karena hanya dia yang berani berkata jujur walau sangat menyakitkan saat itu bagi saya.

Dia berkata bahwa kekayaan saya dulu adalah istidraj, ujian Allah bagi saya yang memang lalai. Menganggap mampu punya segalanya dengan mengandalkan gelar akademik dan kecerdasan saya. Mengabaikan peran Allah. Bagi saya agama itu nanti saja saat sudah tua. Teman saya juga bilang, bahwa saya kualat pada ibu kandung saya yang saya abaikan, sementara mertua saya agungkan bahkan saya biayai pergi berhaji. Orangtua kandung saya pergi berhaji dengan uangnya sendiri hasil penjualan rumahnya.

Teman saya bilang, pahami bahasa diam seorang ibu, bukan saat ibumu bersuara dengan kecerewetannya, karena saat seorang ibu memilih diam, itu artinya hatinya sudah sangat tersakiti, sangat kecewa. Kebodohan saya pada agama, membuat saya tak tahu bahwa memelihara orangtua kandung, terlebih ibu adalah kewajiban anak lelaki, bukan anak perempuan. Bahwa seberapa banyakpun harta anak lelaki semua adalah milik ibu kandungnya. Ibu kandungnya lebih berhak daripada istri, apalagi dari mertua.

Saya juga baru tahu bahwa surga seorang perempuan ada pada suaminya. Ternyata selama ini, kami hidup dalam kebodohan ilmu agama yang membuat kami jatuh terperosok. Membolak balik hukum Allah seenak sendiri.

Kakak sempat bercerita betapa seringnya ibu saya memanggil nama saya karena rindu, namun saya tak pernah datang, hingga ibu saya sering melamun dan menangis sendiri karena saya tak pernah menengoknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun