Mohon tunggu...
Rinaldi Syahputra Rambe
Rinaldi Syahputra Rambe Mohon Tunggu... Pustakawan - Pustakawan Perpustakaan Bank Indonesia Sibolga

Anak desa, suka membaca, menulis dan berkebun. Penulis buku "Etnis Angkola Mandailing : Mengintegrasikan Nilai-nilai Kearifan Lokal dan Realitas Masa Kini". Penerima penghargaan Nugra Jasa Dharma Pustaloka 2023 dari Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas).

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tradisi Lubuk Larangan Etnis Angkola-Mandailing

21 Desember 2023   10:11 Diperbarui: 21 Desember 2023   16:39 334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penampakan Ikan Mahseer Pada Lubuk Larangan Desa Rianiate (Sumber: Dokumentasi Pribadi/ Wahyu Pane, 2023)

Etnis Angkola-Mandailing yang menduduki wilayah Tapanuli Bagian Selatan meliputi Kabupaten Mandailing Natal, Kabupaten Tapanuli Selatan, Kota Padangsidimpuan, Kabupaten Padang Lawas, dan Kabupaten Padang Lawas Utara. Topografi wilayah ini secara garis besar dilintasi oleh bukit barisan sehingga terdapat banyak aliran sungai.

Sungai-sungai ini sejak dahulu dikelola dengan cara-cara tradisional. Dengan berbagai pendekatan dan kegunaan. Seperti pemanfaatan saluran irigasi pertanian, masyarakat membuat bondar atau parit yang dipergunakan untuk mengairi areal pertanian dan dimanfaatkan pula sebagai sumber air bersih bagi masyarakat.

Selain itu, aliran sungai ini juga dimanfaatkan secara bersama sifatnya terbuka (open source) untuk semua unsur masyarakat. Semua berhak mengambil manfaat dari keberadaan sungai-sungai ini. Masyarakat bisa mengambil sumber daya yang ada berupa air, ikan, pasir, dan batuan.

Seiring dengan berjalannya waktu, sistem pengelolaan sungai yang terbuka menyebabkan eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya sungai. Terutama pada sumber daya ikan dan biota lainnya. Ikan diambil terus menerus tanpa memperhatikan kerusakan ekosistem. Cara penangkapan ikan juga cukup beragam, mulai dari dipancing, di jaring, dipasang perangkap, dan yang paling berbahaya adalah ditangkap dengan menggunakan racun. Racun yang digunakan cukup beragam, ada yang sifatnya tradisional seperti menggunakan air tuba, ada juga yang menggunakan racun ikan (Hilda 187). Tindakan seperti inilah yang dapat merusak keberlangsungan ekologi sungai. Apabila terus dibiarkan dalam jangka panjang akan mengakibatkan punahnya ikan dan biota lain yang ada di aliran sungai.

Sejak dahulu para leluhur telah menyadari akan kerusakan ini, sehingga dirumuskan tradisi yang dapat melindungi ekosistem sungai. Tradisi yang lahir sifatnya masih tradisional dan bersifat mistis dengan melibatkan makhluk gaib sebagai penjaga sungai. Namun, sejak tahun 1980 tradisi ini dikembangkan dengan pendekatan yang lebih rasional dan terarah, yaitu dengan membentuk lubuk larangan (Hilda 187). 

Sebagai bentuk perhatian untuk memperbaiki dan melindungi ekosistem sungai, masyarakat menerapkan berbagai pendekatan. Etnis Angkola-Mandailing yang dikenal dengan persatuan dan kesatuannya menetapkan aturan selalu melalui musyawarah. Tradisi musyawarah pada etnis Angkola-Mandailing digambarkan dalam istilah songon aek tangkuju padang, manjalaki rura pardomuan, artinya mencari kesatuan pendapat dengan musyawarah untuk bekerja sama mencapai tujuan dan  atau cita-cita (Perkasa Alam 20). Musyawarah pun dilakukan sehingga memunculkan ide penetapan lubuk larangan sebagai langkah preventif mengatasi persoalan lingkungan.

Secara bahasa lubuk larangan berasal dari dua kata lubuk dan larangan. Lubuk berarti kolam atau aliran air baik itu sungai ataupun irigasi. Sedangkan larangan berarti terlarang. Sehingga dapat diartikan lubuk larangan merupakan aliran sungai yang terlarang untuk diambil sumber dayanya (Rukiah 633).

Tidak ada catatan pasti mengenai kapan lubuk larangan ini ditetapkan di daerah Tapanuli Bagian Selatan. Dari beberapa jejak sejarah yang ada, tradisi lubuk larangan ini sudah ada sejak ratusan tahun silam di Desa Rianiate, Kecamatan Angkola Sangkunur, Kabupaten Tapanuli Selatan.

Berdasarkan penuturan dari tokoh masyarakat setempat menyebutkan bahwa tujuan pembentukan lubuk larangan ini pada awalnya untuk memperbaiki kualitas air. Dahulu, Syaikh Muhammad Syarif Tanjung yang datang dari desa Tabuyung Mandailing Natal dalam rangka berdakwah serta menyampaikan ajaran Islam melalui tarekat Naqsabandiyah. Syaikh Muhammad Syarif kemudian melihat kondisi air pada sungai Rianiate tidak bisa dipakai untuk berwudhu karena sudah terkontaminasi dengan beragam kotoran. (Wawancara dengan tokoh masyarakat desa Rianiate, Abd. Khoir Sianipar, 27 Oktober 2023).

Kondisi inilah yang menjadi latar belakang munculnya ide untuk menabur benih ikan dengan harapan dapat memperbaiki kualitas air dan sungai tersebut. Ternyata cara ini cukup efektif untuk memperbaiki kualitas air sungai, ikan yang ditabur pun semakin berkembang (Wawancara dengan tokoh masyarakat desa Rianiate, Abd. Khoir Sianipar, 27 Oktober 2023).

Kemudian, dalam perkembangannya dibuatlah aturan bahwa ikan-ikan ini tidak boleh diambil sembarangan. Hanya boleh diambil untuk keperluan umum, seperti membiayai pembangunan masjid dan keperluan umum lainnya. Konon katanya, apabila ada orang yang melanggar aturan ini, akan berakibat buruk pada pelakunya (Wawancara dengan tokoh masyarakat desa Rianiate, Muh. Irham Lubis, 27 Oktober 2023).

 Kemanfaatan ikan ini masih dirasakan masyarakat hingga kini. Berdasarkan penuturan dari Pargolakan Sitompul, tokoh masyarakat desa Rianiate sebagian besar pembangunan masjid Babur Rohman Rianiate didapatkan dari hasil penjualan ikan mahseer dan infak yang diberikan oleh wisatawan yang datang berkunjung untuk melihat ikan mahseer di lubuk larangan desa Rianiate (wawancara dengan tokoh masyarakat desa Rianiate, Pargolakan Sitompul, 27 Oktober 2023).

Tradisi ini masih dijaga dan dijalankan oleh masyarakat hingga saat ini. Bahkan aliran sungai tempat lubuk larangan sudah beberapa kali direvitalisasi  dengan penambahan beberapa fasilitas pendukung seperti penambahan bronjong, dak beton dan penanaman bambu di pinggiran sungai. Tujuannya untuk menjaga ekosistem sungai tempat ikan tinggal. Selain itu, masyarakat juga dilarang membuang sampah ke sungai tempat lubuk larangan. Sehingga, keberadaan lubuk larangan ini masih dapat dijumpai, dimana ribuan ikan dapat disaksikan berenang dalam sungai, berbaur dengan aktivitas masyarakat desa Rianiate.

Tempat ini juga sering dikunjungi oleh wisatawan dari berbagai daerah. Pengunjung dapat berinteraksi langsung dengan ribuan ikan jurung dengan memberi makan. Para pengunjung pun dapat merasakan bagaimana ikan-ikan ini telah terbiasa berinteraksi dengan masyarakat.

Selain di desa Rianiate, terdapat juga lubuk larangan yang telah lama dilakukan di berbagai desa di kabupaten Mandailing Natal. Ada pendapat yang mengatakan tradisi lubuk larangan di Mandailing Natal diadopsi dari tradisi masyarakat pasaman barat Sumatera Barat pada tahun 1970 an dan terus berkembang hampir di seluruh wilayah Tapanuli Bagian Selatan hingga saat ini. Salah satu lubuk larangan yang cukup lama yaitu lubuk larangan yatim di desa Tambangan Jae Mandailing Natal yang sudah dimulai sejak tahun 1989 (Turmuzi et al. 1225).

Di daerah lain, seperti Padang Lawas,  Padang Lawas Utara dan Kota Padangsidimpuan juga banyak dijumpai lubuk larangan dengan model yang hampir sama. Khusus di kota Padangsidimpuan lubuk larangan sering dijumpai di sepanjang sungai Batang Ayumi, Aek Sibontar dan aliran sungai lainnya.

Lubuk larangan merupakan model pengelolaan aliran sungai, aliran irigasi dan sejenisnya dengan berbagai aturan pelarangan menangkap ikan sampai batas waktu tertentu. Jangka waktunya biasanya satu tahun atau lebih. Masyarakat melalui perangkat pemerintahan dan tokoh masyarakat akan merumuskan peraturan dan kesepakatan teknis pelaksanaannya.

Panitia pelaksana akan ditentukan untuk menjaga efektivitas keberlangsungan program lubuk larangan. Panitia berhak menentukan waktu pelaksanaan pelarangan dan pembukaan. Aturan main lubuk larangan berbeda-beda setiap daerah. Selain di Tapanuli Bagian Selatan, tradisi lubuk larangan juga dapat ditemukan di beberapa daerah di Sumatera Barat, Jambi, dan Riau. Pola dan tekniknya berbeda-beda sesuai dengan tradisi yang berlaku pada masyarakat setempat.

Dalam pelaksanaannya, mulai dari tahap penaburan benih hingga pembukaan, lubuk larangan akan dikelola dengan baik oleh panitia. Festival pembukaan lubuk larangan akan diadakan sebagai perayaan khusus. Untuk menghadiri festival ini, tiket akan tersedia bagi orang-orang yang ingin mengikuti acara tersebut. Harga tiket di setiap daerah akan bervariasi sesuai dengan kesepakatan panitia dan masyarakat desa.

Festival pembukaan lubuk larangan biasanya dilakukan selama dua hari. Hari pertama, biasanya alat yang digunakan untuk menangkap ikan cukup terbatas hanya menggunakan pancing. Hari kedua, biasanya menggunakan alat lain seperti jala atau jaring. Harga tiket juga biasanya berbeda antara tiket pemancing atau tiket dengan menggunakan alat seperti jala atau jaring.

Festival pembukaan lubuk larangan akan melibatkan seluruh masyarakat desa dan masyarakat dari luar desa yang telah membeli tiket. Partisipasi masyarakat dari berbagai daerah akan memperkaya acara dan memperkuat ikatan persaudaraan dan persatuan.

Secara garis besar kemanfaatan lubuk larangan meliputi tiga unsur penting pertama sebagai sumber ekonomi berbasis kerakyatan. Kedua, menjadi sarana sosial masyarakat. Ketiga, lubuk larangan menjadi sarana melindungi keberlangsungan ekologi (Rukiah 634).

Nilai Ekonomi Kerakyatan pada Lubuk Larangan 

Tujuan dari pengelolaan lubuk larangan salah satunya adalah memaksimalkan nilai-nilai ekonomi secara bersama. Dalam tradisi lubuk larangan tidak hanya menguntungkan pihak tertentu akan tetapi menguntungkan semua unsur masyarakat. Tradisi lubuk larangan pada etnis Angkola-Mandailing merupakan implementasi nilai solidaritas berbasis ekonomi kerakyatan.

Sejak dahulu para leluhur telah mencetuskan tradisi ini dengan istilah baen ma huta dohot banua martalaga na so hiang, artinya jadikanlah desa dan sekitarnya menjadi lahan yang tidak kering. Semua potensi yang ada harus dimaksimalkan dengan baik untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan bersama (Pulungan 4).

Nilai-nilai ekonomi kerakyatan dapat dilihat dari pemanfaatan hasil sumber daya yang berasal dari tradisi lubuk larangan dipergunakan sepenuhnya untuk kepentingan bersama. Seperti dijadikan sebagai sumber pendanaan pembangunan desa, membangun sekolah, pembangunan rumah ibadah dan pemberdayaan anak yatim.

Adanya tradisi lubuk larangan ini telah menjadi bukti bahwa ekonomi kerakyatan dapat dibentuk berdasarkan tradisi lokal. Meskipun pengembangan nilai-nilai ekonomi pada lubuk larangan belum maksimal dilakukan. Ke depan, tradisi ini dapat dimodifikasi dengan pendekatan yang lebih holistik. Selama ini, hasil tangkapan ikan dari lubuk larangan langsung dikonsumsi atau dijual dalam bentuk ikan mentah sehingga nilai ekonominya belum maksimal. Sehingga kedepan bisa dikembangkan dengan menciptakan berbagai produk turunan yang bernilai ekonomi lebih tinggi.

Tradisi lubuk larangan juga bisa dikembangkan sebagai model pengembangan kesejahteraan untuk mengatasi persoalan malnutrisi yang masih terjadi. Mengingat salah satu penyebab malnutrisi yang adalah terbatasnya sumber daya makanan yang berkualitas. Dengan memaksimalkan pengelolaan lubuk larangan akan menjadi sumber tambahan makanan berkualitas yang bermanfaat untuk pemenuhan gizi masyarakat.

Selain itu, potensi pemanfaatan lubuk larangan tidak hanya terbatas pada sumber daya materi (ikan) yang dihasilkan maupun nilai tiket yang terjual saat festival. Lubuk larangan juga memiliki potensi untuk dijadikan model pariwisata yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Dengan memanfaatkan daya tarik alam dan budaya yang dimiliki (lubuk larangan), harus terus dikembangkan agar mampu menarik wisatawan untuk datang dan mengalami tradisi lokal serta keindahan lingkungan yang lestari. Dengan demikian, ekonomi lokal dapat tumbuh melalui pendekatan pariwisata yang bertanggung jawab dan berkelanjutan, memberikan manfaat jangka panjang bagi masyarakat setempat.

Ada dua implikasi yang dapat dijadikan sebagai daya tarik dalam pengembangan pariwisata. Pertama, nilai-nilai tradisional yang terkait dengan tradisi lubuk larangan. Nilai-nilai ini mencakup warisan budaya lokal, keramahan masyarakat dalam menyambut tamu, dan karakter unik dari etnis Angkola-Mandailing yang tidak dimiliki oleh etnis lain, menjadikannya daya tarik tersendiri.

Ikan Bakar Sinyarnyar Khas Tabagsel (Sumber: Dokumentasi Pribadi/ Meli Sartika Harahap, 2023)
Ikan Bakar Sinyarnyar Khas Tabagsel (Sumber: Dokumentasi Pribadi/ Meli Sartika Harahap, 2023)

Kedua, sumber daya ikan yang dihasilkan dari lubuk larangan. Ikan yang dihasilkan dari lubuk larangan seringkali memiliki karakteristik yang khas, seperti ikan mahseer, yang sulit ditemukan di daerah lain karena popularitasnya di kalangan masyarakat. Ikan ini juga sulit untuk dibudidayakan secara komersial dan hanya dapat ditemukan secara alami di aliran sungai. Hasil tangkapan dari lubuk larangan juga dapat diolah menjadi berbagai jenis makanan khas, seperti holat, ikan bakar sinyarnyar, ikan asap, dan berbagai hidangan kuliner lainnya, yang dapat menjadi daya tarik dengan nilai ekonomis yang tinggi.

Nilai-Nilai Sosial Lubuk Larangan

Tradisi lubuk larangan sangat sarat dengan nilai-nilai sosial kemasyarakatan. Salah satu nilai yang muncul dari tradisi lubuk larangan dapat menciptakan kerukunan yang terjalin antar masyarakat. Kebersamaan, kesepakatan dalam menetapkan pengelolaan lubuk larangan dalam jangka panjang dapat memperkokoh nilai-nilai sosial pada masyarakat.

Selain nilai-nilai kerukunan keberadaan lubuk larangan dapat meningkatkan kedisiplinan pada masyarakat. Keberadaan lubuk larangan akan menuntut masyarakat untuk lebih disiplin dalam mengelola dan menjaga lingkungan. Tradisi lubuk larangan juga dapat menjadi lambang kemandirian ekonomi masyarakat.

Nilai-nilai sosial lubuk larangan juga tergambar dari tujuan didirikannya lubuk larangan  yang pada umumnya selalu mempertimbangkan kepentingan umum. Sumber daya yang dihasilkan dari lubuk larangan lazimnya diperuntukan untuk pembangunan sarana prasarana desa, membiayai kebutuhan anak yatim dan dhuafa serta pembangunan madrasah / sekolah.

Dari aspek sosial, tradisi lubuk larangan harus terus diberdayakan untuk mengatasi pelbagai persoalan bangsa seperti pemberdayaan kaum lemah, pembangunan fasilitas desa, sekolah dan lainnya. Dimana semua persoalan ini belum sepenuhnya tercover oleh negara dan masih membutuhkan perhatian dari berbagai pihak.

Lubuk Larangan Sebagai Sarana Perlindungan Ekologi

Tradisi lubuk larangan dapat menjadi sarana perlindungan ekologi yang berkelanjutan. Keberadaan lubuk larangan dapat mencegah kerusakan lingkungan terutama aliran sungai yang kerap kali dijadikan tempat pembuangan sampah dan aktivitas lainnya yang cenderung eksploitatif.

Pengelolaan lubuk larangan yang bersifat tradisional dapat menjaga kelestarian budaya dan ekologi secara bersamaan. Pendekatan kearifan lokal jauh lebih tangguh untuk melindungi lingkungan dari eksploitasi yang terjadi terus-menerus.

Lubuk larangan membantu melindungi spesies ikan dan biota lainnya yang terdapat di aliran sungai. Terutama ikan-ikan endemik yang jumlahnya terbatas. Misalnya ikan mahseer yang sulit untuk dibudidayakan secara komersial.

Warisan tradisi lubuk larangan sebaiknya terus dikembangkan. Karena telah terbukti mampu menjaga keberlangsungan ekologi dan lingkungan. Terdapat beberapa perubahan perilaku positif masyarakat yang berada di lingkungan sekitar aliran sungai menjadi lebih bersih karena keberadaan lubuk larangan.

*Tulisan ini merupakan cuplikan isi buku pemenang sayembara kajian literasi berbasis konten lokal yang diselenggarakan oleh Perpustakaan Nasional tahun 2023.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun