Mohon tunggu...
Rinaldi Syahputra Rambe
Rinaldi Syahputra Rambe Mohon Tunggu... Pustakawan - Pustakawan Perpustakaan Bank Indonesia Sibolga

Anak desa, suka membaca, menulis dan berkebun. Penulis buku "Etnis Angkola Mandailing : Mengintegrasikan Nilai-nilai Kearifan Lokal dan Realitas Masa Kini". Penerima penghargaan Nugra Jasa Dharma Pustaloka 2023 dari Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas).

Selanjutnya

Tutup

Parenting Artikel Utama

Bikin Kecanduan Hingga Masuk Rumah Sakit Jiwa, Stop Penggunaan Gawai Berlebihan pada Anak!

23 Mei 2023   15:47 Diperbarui: 23 Mei 2023   19:05 455
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Thinkstockphotos)

Gawai bak pisau bermata dua. Bila digunakan dengan tepat akan memberikan manfaat. Bila penggunaannya tidak tepat akan menjadi petaka bagi penggunanya.

Hari ini pengunaan gawai semakin tidak terkendali. Bukan hanya orang dewasa dan remaja. Anak-anak juga telah terbiasa mengunakan gawai. Tidak tanggung-tanggung, berdasarkan data rilis BPS (2022) sebanyak 52,76% anak usia 5-6 tahun telah menggunakan ponsel. Sedangkan, proporsinya anak dengan rentang usia 0-4 tahun tercatat sebesar 25,5%.

Selain itu sebanyak 39,97% anak usia 5-6 tahun dan 18,79% anak usia 0-4 tahun di Indonesia sudah mampu dan terbiasa mengakses internet. Data di atas masih mencakup penggunaan gawai pada anak usia 6 tahun kebawah. Sisanya BPS juga merilis sebesar 88,99 % anak berusia 5 tahun ke atas telah mengakses internet.

Artinya sebagian besar anak-anak di Indonesia telah menggunakan gawai, Ironis memang. Maraknya penggunaan gawai pada anak-anak sudah bisa dikatakan darurat. Terlebih pada anak-anak usia dibawah 6 tahun. Semestinya pada usia ini saatnya sistem motorik dan fisik dilatih agar tumbuh dan berkembang dengan baik.

Ada banyak faktor penyebab anak-anak menggunakan gawai. Pertama, aksesibilitas dan ketersediaan. Gawai dari segi harga sudah cukup terjangkau. Hampir setiap rumah telah memiliki gawai. Anak-anak sering memiliki akses langsung ke perangkat secara pribadi maupun melalui perangkat anggota keluarga.

Ilustrasi anak dan gadget.  Foto: grid.id
Ilustrasi anak dan gadget.  Foto: grid.id

Kedua, peran model orang tua dan orang dewasa di sekitarnya. Anak-anak sangat piawai dalam meniru perilaku orang di sekitarnya. Terlebih orang tuanya. Hari ini sangat sering orang tua memberi contoh kepada anak kebiasaan menggunakan gawai. Begitu juga orang dewasa di sekitarnya tidak lepas dari gawai.

Amat disayangkan pula, ada tipikal orang tua yang memberikan gawai kepada anaknya agar diam, manut dan tidak mengganggu orang tuanya. Pembiasaan semacam inilah yang kemudian menjadikan anak kecanduan dengan gawai.

Ketiga, faktor sosial teman sebaya. Anak cenderung meminta sesuatu yang dimiliki oleh teman-temannya. Bahkan ia akan merasa tertekan apabila tidak memiliki barang yang dimiliki oleh teman-temannya. Anak-anak akan cenderung eksis dan mengikuti tren yang ada. Termasuk menggunakan gawai.

Oleh sebab itu, sangat penting bagi orang tua untuk memberi nasihat bahwa tidak semua yang orang lakukan patut untuk dicontoh. Disamping itu, orang tua juga harus berperan aktif mengawasi pergaulan anak. Sebab, pergaulan dan lingkungan sangat berpengaruh terhadap perilaku anak.

Keempat, banyaknya konten dan fitur menarik.  Gawai menyediakan fitur dan konten yang menarik menjadi daya tarik tersendiri. Misalnya, seperti permainan, video, dan aplikasi. Anak-anak tertarik dengan kegiatan ini dan cenderung menggunakan berulang-ulang. Bahkan pada tahap kecanduan anak merasa tidak memerlukan orang lain untuk menghiburnya. Singkatnya interaksinya dengan gawai sudah cukup membuat ia senang.

Kelima, kurangnya pengawasan dan pembatasan. Jika tidak ada pengawasan dari orang tua anak-anak akan cenderung menggunakan gawai terus menerus.

Ilustrasi anak main gawai.  Foto: CNN Indonesia (Deddy Sinaga)
Ilustrasi anak main gawai.  Foto: CNN Indonesia (Deddy Sinaga)

Dalam jangka panjang bila kondisi ini dibiarkan akan mengancam generasi kita. Fenomena anak-anak kecanduan gawai sebenarnya sudah cukup lama terjadi. Banyak kajian dan penelitian yang menunjukkan bahwa gawai telah merusak anak-anak.

Dampak dari kecanduan gawai pada anak-anak sangat merugikan. Mereka mengalami gangguan tidur, penurunan prestasi akademik, isolasi sosial, dan masalah kesehatan mental yang serius. 

Beberapa kasus bahkan mencapai titik di mana anak-anak harus dirawat di rumah sakit jiwa untuk mendapatkan perawatan yang dibutuhkan.

Melansir dari detik.com pada tahun 2021 RSJ Cisarua telah melakukan rehabilitasi terhadap ratusan anak yang mengalami kecanduan berat terhadap gawai. Tingkat kecanduan yang tinggi bahkan sampai mengakibatkan gangguan jiwa. Kasus yang sama juga terjadi di kalimantan.

Selain itu, di Bondowoso, Jawa Timur, ada dua anak yang mengalami kasus yang lebih parah. Kondisinya sampai ingin membunuh orangtuanya yang melarang menggunakan gawai.

Untuk mengatasi darurat ini, langkah-langkah tegas dan kolaboratif harus diambil oleh para orang tua, pendidik, dan masyarakat secara keseluruhan. Orang tua perlu terlibat secara aktif dalam pengawasan dan pengaturan penggunaan gawai anak-anak mereka.

Pendidik harus memperkenalkan program pendidikan tentang penggunaan yang sehat dan bertanggung jawab terhadap teknologi digital termasuk didalamnya penggunaan gawai.

Selain itu, perlu ada upaya bersama dari pemerintah, lembaga kesehatan, dan industri teknologi untuk mengatur penggunaan gawai anak-anak. Kebijakan dan regulasi yang ketat harus diterapkan untuk melindungi anak-anak dari konten yang tidak pantas dan membatasi waktu layar mereka.

Kita perlu mengambil contoh dari negara-negara yang telah mengatur penggunaan gawai pada anak-anak. Termasuk penggunaannya di lingkungan sekolah. 

Bebarapa negara eropa seperti Inggris, Belgia, Spanyol, Italia, Swiss, Jerman, Austria, Swedia, Finlandia, dan Siprus telah melakukan pelarangan penggunaan gawai di lingkungan sekolah. Larangan ini berlaku untuk pelajar sekolah dasar (SD) sekolah menengah pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA).

Hal serupa juga telah diterapkan di beberapa negara di Asia, seperti China, Israel dan India. Tidak ketinggalan, Australia juga menerapkan aturan yang sama. Alasannya adalah banyak masalah yang muncul apabila anak-anak diperkenankan membawa gawai ke sekolah.

Darurat penggunaan gawai pada anak-anak adalah isu yang membutuhkan perhatian serius dan tindakan segera. Kita harus bersatu dan bekerja sama untuk melindungi generasi muda dari efek negatif yang ditimbulkan oleh kecanduan gawai. Hanya dengan langkah-langkah yang berani dan kolaboratif, kita dapat menciptakan lingkungan yang sehat dan aman bagi anak-anak kita di era digital ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun