Bagaimana Modus Operandinya?
Sindikat ini telah beroperasi sejak tahun 2010 di rumah (MS) yang berada di jalan Sunu, Bontoala, Makassar. Namun, seiring berjalannya waktu peralatan produksinya dipindahkan ke gedung perpustakaan UIN Alauddin pada September 2024, untuk menghindari kecurigaan.
"Peredaran uang palsu ini dimulai dari 2 juni 2010, sudah lama ini. Terus lanjut 2011 sampai 2012, kemudian sampai juni 2022 kembali lagi untuk merencanakan pembuatan dan mempelajarinya lagi," terang Kapolda Sulsel, Irjen Pol Yudhiawan Wibisono.
Dalam penyebaran uang palsu ini, pelaku menyelipkan uang palsu ditengah uang asli.
"Transaksi pertama dari saudara MN dan saudara AI untuk melakukan jual beli uang palsu, satu banding dua. Jadi satu asli dan dua uang palsu. Transaksi ini juga dilakukan tersangka lain. ," jelas Yudhiawan.
Polisi juga mengamankan beberapa barang bukti diantaranya mata uang rupiah emisi 2016 sebanyak 4.554 lembar pecahan Rp100.000, 234 lembar pecahan Rp100.000 yang belum terpotong, satu lembar 5.000 won (Korea Selatan), 111 lembar uang 500 dong (Vietnam), mesin pencetak uang palsu dari China senilai Rp600 juta, sertifikat deposito BI, surat berharga negara (SBN) dan lainnya.
Di sisi lain adapun kasus terkait dengan pemalsuan uang yang terjadi di Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah. Kasus pemalsuan uang di Cilacap yang berawal dari usaha buket mengindikasikan pelaku kejahatan semakin kreatif dalam menyembunyikan aktivitas ilegal mereka. Kasus pemalsuan uang di UIN Alauddin Makassar dan di Cilacap menunjukkan bahwa kejahatan ini semakin marak dan perlu penanganan serius.
Skandal yang terjadi di UIN Alauddin Makassar mengungkap fakta tentang adanya jaringan produksi uang palsu yang terorganisir di lingkungan pendidikan, sementara kasus di Cilacap membuktikan bahwa kejahatan ini dapat terjadi dimana saja, bahkan di tempat yang tidak terduga sekalipun seperti usaha buket. Meskipun berbeda dalam modus operandi, tetapi kedua kasus ini memiliki kesamaan yaitu adanya  niat jahat untuk merugikan masyarakat dan negara.
Kasus pemalsuan uang di UIN Alauddin Makassar adalah sebuah fenomena yang memprihatinkan. Skandal ini tidak hanya mencoreng nama baik kampus, tetapi juga mengungkap kelemahan dalam sistem pengawasan internal.
Bagaimana mungkin lembaga pendidikan yang seharusnya menjadi pusat pembentukan moral dan intelektual, justru menjadi tempat berkembangnya kejahatan terorganisir?
Institusi pendidikan seharusnya menjadi garda terdepan dalam menanamkan nilai-nilai kejujuran, tanggung jawab, dan moralitas. Namun, kasus ini menunjukkan adanya kelalaian dalam pengawasan internal. Fakta bahwa aktivitas pemalsuan uang berlangsung selama bertahun-tahun tanpa terdeteksi, bahkan melibatkan pegawai universitas, mengindikasikan lemahnya sistem kontrol di dalam kampus.