Di kota pegunungan ini, aku lebih banyak melihatnya menangis. Sesekali dia cerita padaku. Namun, karena permasalahan yang merundungnya, dia kerap mengabaikan kami. Seoalah kami tak ada, hanya hilir mudik sembari komat-kamit. Panjatan doa kepada Maha Kuasa. Puncaknya, ketika dia malah memindahkanku ke tanah.
Aku berteriak, "Hei, cantik... Kamu itu kenapa? Aku itu epifit... kenapa ditanam di tanah yang malah terus disirami dengan air. Akar-akarku mulai busuk..."
Tapi, entah apa yang menutup telinganya.
Aku mencoba terus bertahan, meski batang-batangku mulai keriput. Daun-daunku layu mengerut. Akarku satu per satu membusuk. Rimpang tempat ku bersandar pun mulai kisut. Aku takut seperti lagi aku tak akan pernah melihatnya lagi.
"Apapun masalah yang menimpa kamu semoga Tuhan segera mencabutnya."
***
Mentari begitu hangat. Hujan yang belum kunjung datang membuatku bertahan dari serangan organisme tanah yang akan mempercepat pembusukanku. Si cantik merentangkan kedua tangannya. Wajahnya menghadap sang seroja. Senyumnya manis sekali. Senyum yang lama tak kulihat itu akhirnya kembali merekah.
Matahari itu kembali bersinar. Usai sekian lama awan menutupinya. Matahari, kadang aku begitu memanggilnya. Karena aku tahu, dia suka sekali dengan matahari.
Aku terus menatapnya. Kedua tangannya meraih pot dimana aku berada. Raut mukanya menampakkan penyesalan. Akhirnya, dia menyadari kalau aku hampir mati.
Aku suka belaiannya. Penuh hati-hati, ia memindahkanku. Entah berapa kali, ia mengucapkan permintaan maaf. Campuran batu alam, humus, dan batu bata merah. Dia memilih media itu untuk mengganti pohon, habitat dimana aku seharusnya.